YANG SALING BERTENTANGAN
Hadis
diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama Islam setelah al-Qur'an.
Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah.
Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, secara prinsip hadis tidak mungkin bertentangan dengan dalil lain, baik
dengan sesama hadis, dalil al-Qur`an maupun rasio, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran.
Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya tampak di luarnya saja.
Oleh
karena itu timbul upaya para ulama untuk menyelesaikan persoalan ketika mendapati teks-teks hadis yang tampak bertentangan.
Hadis-hadis yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan istilah Ikhtilâf atau Mukhtalif al-Hadîs.
Mukhtalif artinya yang bertentangan atau berselisih. Mukhtalif AI-Hadis artinya hadis yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain. Al-Qaththan mengartikan mukhtalif al-hadis sebagai hadis yang diterima, namun pada zahirnya kelihatan bertentangan dengan hadis maqbul lainnya dalam maknanya, sekalipun memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.
Cara
Menyelesaikan Hadist – Hadist yang Bertentangan
Pada
prinsipnya, nas-nas syari’at tidak mungkin saling bertentangan, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya kelihatan dari luar saja. Kewajiban kita adalah menghilangkan pertentangan itu dan mencari solusinya, sehingga pertentangan tersebut hilang. Ada dua
jalan
yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan hadis yang bertentangan, yaitu:
1. Thariqah Al-Jam’u
2. Thariqah Nasikh
Al-Mansukh yang merupakan bagian dari Al-Tarjih
1. Menggabungkan (al-Jam’u)
Apabila pertentangan yang tampak dalam hadis dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan keduanya sehingga keduanya dapat diamalkan, maka hal itu lebih baik daripada mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti memprioritaskan salah satu dari keduanya dan mengabaikan yang lainnya.
Contoh Al-Jam’u:
Hukum Tentang Ziarah Kubur Bagi Perempuan
(Hadist Pertama)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ
Artinya :
Dari
Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW melaknat para perempuan yang berziarah ke kubur
Hadist
diatas bertentangan dengan :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Artinya :
Dari
Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, katanya, Rasulullah SAW bersabda, “Aku pernah melarang kalian berziarah kubur. Adapun sekarang, berziarahlah
Lalu digabungkan menjadi :
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا
وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ
Artinya:
Dari Ibnu
Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan. Adapun sekarang, berziarahlah! Sesungguhnya berziarah kubur itu membuat zuhud terhadap dunia dan mengingatkan tentang akhirat
Jadi, hadis pertama di atas dapat dikumpulkan dengan hadis kedua. Pada hadis pertama disebutkan bahwa yang dilaknat adalah zawwârât (perempuan-perempuan yang terlalu sering berziarah kubur). Ini berarti ada kemungkinan perempuan tersebut telah meninggalkan kewajibannya yang lain, hanya
karena terlalu sering berziarah. Itulah yang menyebabkan mengapa dilarang oleh Nabi. Analisis seperti ini
merupakan suatu analisis yang digunakan oleh Ilmu Mukhtalif al-Hadis, yaitu pertentangan yang terjadi antara hadis-hadis itu dibawa kepada konteks peristiwa masing-masing. Karena peristiwanya berbeda, maka tuntunan terhadap peristiwa itu juga berbeda.
2. Nasikh Al-Mansukh (
Membatalkan salah satu dan Mengamalkan yang lain) dan Tarjih (
Memilih yang Terkuat)
Menurut pendapat al-Hafiz
al-Baihaqi, Yusuf al-Qardawi bahwa apabila terhadap dua hadis yang tampak bertentangan tidak dapat dilakukan penggabungan( Al-Jam’u ) , maka dapat ditempuh dua jalan:
(1) Nasikh
Al-Mansukh dan
(2) Tarjih.
(1) Nasikh Al-Mansukh
●
Nasikh menurut bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil, sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkan kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah, nasikh adalah pengangkatan yang dilakukan oleh penet
ap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.
Cara mengetahui Nasikh dan Mansukh :
1. Pernyataan Rasullullah
2. Pernyataan Sahabat
3. Menurut Sejarah
4. Ijma
Ulama
Contoh Hadist
Nasikh Al-Mansukh
Hadist tentang Orang Junub,
Tidur
Tanpa
Mandi
(hadits
1)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُ وَهُوَ جُنُبٌوَلاَ
يَمَسُّ مَاءً
Artinya :
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW tidur dalam keadaan junub dan tidak menyentuh air.
Hadis ini menunjukkan bahwa orang junub
boleh
tidur
tanpa
mandi
atau
berwudlu sebelumnya
Hadis di atas
mansukh atau dibatalkan oleh hadis berikut ini:
(hadits
2)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ
أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ
Artinya :
Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa: "Rasulullah Saw jika dalam keadaan junub, lalu ingin makan atau tidur, beliau berwudlu lebih dahulu sebagaimana wudlu ketika akan shalat.
(hadits
3)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ
أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَنَامُ أَحَدُنَا
وَهُوَ جُنُبٌ قَالَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ
Artinya:
Diriwayatkan dari umar, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw: "Apakah boleh tidur dalam keadaan junub salah seorang diantara kami? " Beliau menjawab: "Ya,
boleh
jika
berwudlu terlebih dahulu
Kedua
hadis
di atas menunjukkan bahwa sangat baik dan dianjurkan bagi orang junub
supaya berwudlu lebih dahulu jika ingan tidur. Dan sekaligus kedua hadis ini me-nasakh atau membatalkan hadis terdahulu di atas.
Hadis
2 dan
3 pengertiannya semakna, sedangkan hadis 1 nampak bertentangan dengan hadis 2 dan 3. Hadis 1 termasuk dalam kelompok hadis fi’li yang tingkatannya berada di bawah hadis qauli ( hadis 3 ). Hadis
2 meskipun termasuk hadis fi’li tetapi mendukung hadis 3 yang qauli.
Jadi,
hadis
yang bersifat lebih kuat (qauli) dapat memansukh atau membatalkan hadis-hadis fi’li atau taqriri
B. Tarjih
Tarjih merupakan tahapan penyelesaian terhadap hadis-hadis yang tampaknya bertentangan, jika al-jam`u atau penggabungan tidak bisa dilakukan. Tarjih berarti memenangkan salah satu dari dua hadis atau lebih yang tampak bertentangan, dengan pelbagai alasan pentarjihan yang telah ditentukan oleh para ulama.
Tarjih ditempuh bila hadis yang bertentangan tersebut tidak memungkinkan untuk dikompromikan. Maka:
a. Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita dahulukan dan amalkan yang nasikh, dan kita tinggalkan yang mansukh.
b. Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan yang lemah kita tinggalkanya
c. Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.
Contoh dari Tarjih:
Hadits
tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup- hidup
akan berada di neraka
uArtinya:
Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka.
(HR
Abu Dawud)
u Hadist tersebut diriwayatkan oleh
imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud
dan Ibn Abi Hatim. Konteks
munculnya hadist tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah
Ibn Yazid al Ju’fi
pergi bersama
saudaranya menghadap Rasulullah SAW. Seraya bertanya : “wahai Rasul
sesungguhnya saya percaya
Malikah itu dulu orang
yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan
tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan Jahiliyah.
Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat
baginya?”
u Nabi
menjawab : ”tidak.” Kami
berkata: “Dulu ia
pernah mengubur saudara
perempuanku hidup-hidup
di zaman Jahiliyah. Apakah amal dan kebaikannya bermanfaat baginya?
Nabi menjawab : orang yang mengubur anak perempuannya
hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada dineraka,
kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah
memaafkannya.” Demikian hadist yang diriwayatkan
oleh imam Ahmad dan Al Nasa’i, dan dinilai sebagai hadis hasan
secara sanad oleh imam Ibnu Katsir.
u
uHadist
tersebut dinilai Musykil dari sisi matan dan Mukhtalif dengan Al-Quran
surat al Takwir ayat 8-9 yang Artinya:
dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa
apakah dia dibunuh.(QS. At-Takwir: 8-9)
u Kalau
seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan
logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk keneraka,
masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadist tersebut harus ditolak
meskipun sanadnya Hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadist lain
yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa, anak
perempuan Mu’awiyyah al Sharimiyyah: “Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga?”
Beliau menjawab: “Nabi Muhammad SAW akan masuk surga, orang yang mati Syahid
juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang
dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga.”
u (HR. Ahmad).
KESIMPULAN
Antara nash yang satu
dengan yang lain tidak
mungkin saling bertentangan. demikian halnya antara hadis Nabi dengan hadis Nabi. Apabila diandaikan terjadi pertentangan, maka yang terjadi hanyalah dalam lahirnya saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusinya adalah al-jam'u (pengkompromian atau penggabungan), jika antara dua hadis yang bertentangan berkualitas sahih. Sedang apabila da`if atau maudu` maka tidak masuk dalam bahasan hadis mukhtalif. Apabila al-jam'u tidak bisa, baru memakai nasikh wa al-mansukh dan tarjih.
0 Response to "CARA MENGKOMPROMIKAN HADITS YANG BERTENTANGAN"
Post a Comment