Studi
Islam sebagai Disiplin Ilmu
Munculnya
istilah Studi Islam, yang di dunia Barat dikenal dengan istilah Islamic
Studies, dalam dunia Islam dikenal dengan Dirasah Islamiyah, sesungguhnya
telah didahului oleh adanya perhatian besar terhadap disiplin ilmu agama yang
terjadi pada abad ke sembilan belas di dunia Barat. Perhatian ini di tandai
dengan munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti:
buku Intruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan sebagainya. Amirika menghasilkan tokoh seperti William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Itulah sebagian nama yang dikenal dalam dunia ilmu agama, walaupun tidak seluruhnya dapat penulis sebutkan di sini.
buku Intruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan sebagainya. Amirika menghasilkan tokoh seperti William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Itulah sebagian nama yang dikenal dalam dunia ilmu agama, walaupun tidak seluruhnya dapat penulis sebutkan di sini.
Tidak hanya di Barat, di
Asia pun muncul beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang muncul J. Takakusu yang
berjasa memperkenalkan Budhisme pada penghujung abad kesembilan belas dan T.
Suzuki dengan sederaetan karya ilmiahnya tentang Zen Budhisme. India mempunyai
S Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun filsafat India, Moses D.
Granaprakasam, Religious Truth an relation between Religions (1950), dan
P. D. Devanadan, penulis The Gospel and Renascent Hinduism, yang
diterbitkan di London pada 1959. dan filsafat analitis.
Berbeda dengan dunia
Barat, Ilmu Agama (baca: Studi Islam) di dunia Islam telah lama muncul.
Dalam dunia Islam dikenal beberapa tokoh dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam
bidang yurisprudensi (hukum) dikenal tokoh seperti Abu Hanifah, Al-Syafi’I,
Malik, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir dikenal tokoh seperti
Al-Thabary, Ibn Katsir, Al-Zamahsyari, dan sebagainya pada sekitar abad kedua
dan keempat hijriyah. Dan akhirnya muncul tokoh-tokoh abad kesembilan belas
seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Abad kedua puluh seperti Musthafa
al-Maraghy, penulis Tafsir al-Maraghy. Di bidang kalam pun muncul
tokh-tokoh besar dari berbagai aliran: Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Asy’ariyah,
dan Mu’tazilah. Penulis bidang ini antara lain; al-Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughny
dan Syarah al-Ushul al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf
melahirkan tokoh-tokoh seperti al-qusyairi yang terkenal dengan Kitabnya Al-Risalah
al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-Sarraj al-Thusy (w. 378 H), penulis al-Luma’,
Al-Kalabadzi, penulis al-ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abdul
Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy, dan
sebagainya.
Walaupun secara realitas
studi ilmu agama (baca: studi Islam [agama]) keberadaannya tidak
terbantahkan, tetapi dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar
permasalahan apakah ia (Studi Islam) dapat dimasukkan ke dalam bidang
ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan
agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan ini banyak dikemukakan oleh
para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah misalnya mengatakan jika
penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah
Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas, lalu apa bedanya dengan
kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku
sekolah? Merespon sinyalemen tersebut menurut Amin Abdullah, pangkal tolak
kesulitan pengembangan scope wilayah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah
berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat
normative dan histories. Pada tataran normatif kelihatan Islam kurang pas kalau
dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untiuk dataran histories nampaknya
relevan.
Tidak hanya kesukaran
yang dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen dan guru juga
mengalami hal yang sama. Banyak dijumpai seorang guru atau dosen yang tidak
mengerti fungsi dan substansi mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan.
Sehingga banyak murid atau mahasiswa yang tidak memahami apa yang mereka
pelajari, sungguh ironis.
Pada tataran normativitas
studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat
memihak , romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis,
metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau
naskah-naskah produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam
lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
Dengan demikian secara
sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif
sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka Islam lebih
merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu ilmu
pengetahuan yaitu paradigma analitis, kiritis, metodologis, historis, dan
empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan
subyektif. Sedangkan jika dilihat dari segi historis, yakni Islam dalam arti
yang dipraktekkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu
Ke-Islaman, Islamic Studies, atau Dirasah Islamiyah.
Perbedaan dalam melihat
Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu
sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama
yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan
mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana
yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu
(Islamic Studies).
Selanjutnya studi Islam
sebagaimana yang dikemukakan di atas, berbeda pula dengan apa yang disebut
sebagai Sains Islam. Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyed Husen
Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad kedua
hijriyah, seperti kedokteran, astronomi, dan lain sebagainya.
Dengan demikian sains
Islam mencakup berbagai pengetahuan modern yang dibangun atas arahan
nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan
dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia.
Sedangkan pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari
ajaran-ajaran Allah dan Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi oleh sejarah,
seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-Qur’an dan akhlak.
Berdasarkan uraian di
atas, berkenaan dengan Studi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri
sangat terkait erat dengan persoalan metode dan pendekatan yang akan dipakai
dalam melakukan pengkajian terhadapnya. Inilah yang menjadi topik utama dalam
kajian makalah ini.
Metode
dan pendekatan dalam Studi Islam mulai diperkenalkan oleh para pemikir Muslim
Indonesia sekita tahun 1998 dan menjadi mejadi matakuliah baru dengan nama
Metodologi Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup Perguruan Tinggi Agama
Islam di Indonesia.
0 Response to "Studi Islam sebagai Disiplin Ilmu"
Post a Comment