Pengantar
Dunia makin resah dengan adanya gelombang radikalisme, ekstrimsme, dan terorisme yang melibatkan mobilisasi anak muda sebagai pelakunya. Sebagaimana yang tampak dari serangkaian peristiwa peledakan bom bunuh diri di pusat kota seperti Paris, Prancis ,, Manchester dan London, Inggris. Serta beberapa kota lainnya di Indonesia, sebagian besar pelakunya adalah mereka yang masih berusia muda. Usia muda adalah fase potensial untuk mengembangkan diri, mengukir prestasi, sekaligus fase krusial pencarian identitas yang ditandai kelabilan dan kerentanan diri. Kondisi semacam ini menjadi pintu masuk bagi para kelompok radikalis untuk mempengaruhi atau melakukan penetrasi ideologi kepada para anak muda, sebagai bagian dari jaringan pelaku teror dan aksi kekerasan lainnya di masyarakat.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, kaum muda memiliki legenda heroisme kepahlawanan, membentuk rasa kebangsaan melalui peristiwa sumpah pemuda, menentang kolonialisme, mendobrak rezim otoritarian orde baru, jika masa kini justru terlibat pada sejumlah aksi teror dan ekstrimisme, tentu menjadi keprihatinan tersendiri. Terlebih bila memperhatikan bonus demografi penduduk Indonesia, sebagaimana data CIA world factbook, hampir setengah dari 125 juta jumlah populasi penduduk Indonesia berusia remaja. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagaimana menciptakan imunitas (daya tahan) di kalangan anak muda Indonesia agar tidak mudah terpengaruh dan menjadi pengikut kelompok radikal, ekstrimis, dan teroris yang akhir-akhir ini marak menggunakan motid keagamaan dengan bahasa jihad.
Sejauh ini, baik pemerintah dan beberapa kekuatan sosial di dalam masyarakat juga sudah melakukan berbagai upaya membendung gelombang radikalisme dan ekstrimisme keagamaan ini melalui kebijakan dan gerakan deradikalisasi. Tulisan ini berupaya memperkuat gerakan deradikalisasi.
Pola gerakan radikalisme bekerja guna mempengaruhi anak muda melalui dua jalur, yakni secara online dan offline. Secara online, akses internet yang semakin mudah melalui smartphone membuat seseorang terhubung dengan informasi apapun yang diinginkan. Trend penggunaan sosial media, seperti facebook, youtube, twitter dimanfaatkan sedemikian rupa oleh para kalangan radikalis dan teroris untuk menarik simpati para anak muda. Mereka bahkan menyediakan situs-situs yang berisi konten provokasi untuk mencari pengikut. Mulai dari bagaimana membentuk nalar radikal sebagai proses ideologisasi sampai menyediakan informasi sebagai perangkat lunak untuk mengambil tindakan ekstrimisme, seperti cara merakit bom dan melakukan bom bunuh diri (suicide bomber).
Fasilitas live streaming di sosial media juga dimanfaatkan untuk membangun dialog secara langsung dengan siapa saja yang ingin mengakses dan menjadi simpatisan bahkan pengikut kempok radikalis.
Sementara itu, pola online melalui media sosial ini secara efektif digunakan oleh Islamic state in Iraq and Syiria (ISIS) atau negara Islam Irak dan Syiria (NIIS) untuk merekrut para anggotanya dari berbagai negara di dunia. Film Jihad Selfie karya Noorhoda Ismail membuktikan akan hal ini, bagaimana anak muda Indonesia terpengaruh ideologi ISIS melalui media sosial. Anak muda itu terpengaruh bahasa jihad pergi ke Irak dan Syiria bergabung dengan ISIS untuk berperang dan mati syahid. Bahkan pro kontra di sosial media terkait ideologi dan perilaku ISIS secara tidak langsung memperkuat hegemoni (pengaruh dominan) ISIS di dunia maya. Hal ini dibuktikan bahwa dengan kata aksi teror ISIS selalu menjadi trending topic di sosial media, seperti twitter. Kata-kata ISIS diretwett sebanyak 250 ribu sebagai peringkat teratas pada tahun 2014 (AS Hikam, 2016 : 113).
Bukan hanya ideologi ISIS saja, ideologi yang ingin merongrong ideologi Pancasila melalui gerakan khilafah juga makin marak di sosial media.
Pola online juga terhubung dengan offline. Para aktor dan agen simpatisan serta pengikut kelompok radikal yang ingin merongrong ideologi Pancasila saling menebar pengaruh dan jejaring melalui perkumpulan, jama'ah pengajian dan sejenisnya. Di Indonesia, komunitas keagamaan yang disinyalir mendukung ISIS adalah jamaah asyharut tauhid (JAT), pimpinan Abu Bakar Basyir. Sedangkan hizbut tahrir Indonesia (HTI) sejauh ini belum terlalu jelas mendeklarasikan diri sebagai bagian dari ISIS, namun ideologi khilafah yang dikembangkan untuk menggeser Pancasila, jelas sudah dapat menghancurkan nasionalisme keindonesiaan, yang telah bersusah payah dibangun oleh pendiri bangsa ini. Pemerintah Indonesia pun makin waspada dengan ideologi HTI ini, karena itu pemerintah melalui Menkopolhukam berupaya membubarkannya.
Berbagai kelompok radikal dan ekstrimis keagamaan ini selalu menebar provokasi mempengaruhi pikiran warga, khususnya para anak muda secara online dan offline, terutama mereka yang mengalami kecemasan, kegelisahan akibat tekanan ekonomi, kekecewaan yang mengakibatkan kehilangan orientasi hidup dan akhirnya merasa menemukan solusi keagamaan secara instan melalui model keagamaan kaum jihadis, yakni berjihad dengan cara berperang atau menjadi pelaku bom bunuh diri. Di tengah rasa frustrasi dan kegalauan dalam pencaria identitas, iming-iming mati syahid melalui bahasa jihad, kerapkali membuat anak muda terjebak ke dalam pola keagamaan instan dan penalaran yang dangkal.
Para aktor jihadis yang mengusung ideologi kekerasan di dalam mencari pengikut sebagaimana riset M. Najib Azka, after jihad : a biographical approach to passionate politics in Indonesia, melalui dua pendekatan. Pertama, penalaran radikal (radical reasoning). Penalaran ini dibangun melalui mekanisme kognisi dan emosi, pencucian otak (brain washing), kejutan moral (moral shock). Bagi individu yang sedang mengalami masalah cenderung suigestible dan mjdah diarahkan, terlebih yang tidak mempunyai pengetahuan dan wawasan yang cukup. Kedua, partisipasi melalui aksi identitas (act of identity). Setelah seseorang mengalami pembentukan penalaran radikal makan akan terlibat berpartisipasi dalam aksi-aksi radikal dan kekerasan lainnya.
Pentingnya Deradikalisasi
Untuk mengantisipasi jaringan kelompok radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme ini pemerintah Indonesia sejauh ini sudah menggunakan dua pendekatan, yakni hard power, dan soft power. Hard power seperti yang dilakukan oleh Densus88 yakni menggunakan pendekatan represif untuk menangkap dan melumpuhkan serta melakukan penegakan hukum kepada mereka yang terlibat jaringan kekerasan ini. Sudah banyak para teroris yang meninggal saat baku tembak dengan Densus88. Namun, mati satu masuh muncul aktor berikutnya.
Sedangkan pendekatan soft power dengan cara membuat lembaga BNPT (Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme) yang melakukan berbagai macam program deradikalisme, yakni meliputi :
a. Mengidentifikasi para tersangka, keluarga, dan jaringan kelompok teroris
b. Merehabilitasi para napi dan keluarganya
c. Mereduksi para napi dan keluarga teroris agar bertaubat dan sadar
d. Resosialisasi para napi teroris, mantan napi, dan masyarakat.
a. Mengidentifikasi para tersangka, keluarga, dan jaringan kelompok teroris
b. Merehabilitasi para napi dan keluarganya
c. Mereduksi para napi dan keluarga teroris agar bertaubat dan sadar
d. Resosialisasi para napi teroris, mantan napi, dan masyarakat.
Cukup banyak juga mantan narapidana terorisme yang berhasil disadarkan oleh pogram BNPT ini dan membantu program deradikalisasi
Bagaimana fokus program deradikalisasi dapat dilakukan? Menarik juga untuk memperhatikan pemikiran Golose (2010) dalam bukunya, deradikalisasi terorisme humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput, bahwa program deradikalisasi memiliki enam tujuan, yaitu :
1. Melakukan counter terorrism
2. Mengatasi provokasi, penyebar kebencian, permusuhan antar umat beragama
3. Mencegah radikalisme
4. Mencegah masyarakat dari indoktrinasi paham kekerasan
5. Meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk menolak paham teror
6. Memperkaya pengetahuan perbandingan paham.
1. Melakukan counter terorrism
2. Mengatasi provokasi, penyebar kebencian, permusuhan antar umat beragama
3. Mencegah radikalisme
4. Mencegah masyarakat dari indoktrinasi paham kekerasan
5. Meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk menolak paham teror
6. Memperkaya pengetahuan perbandingan paham.
Dengan memperhatikan pendapat diatas, maka kini program deradikalisasi tidak saja dilakukan oleh pemerintah, namun juga semua elemen masyarakat. Bahkan cara kerja mengembangkan program deradikalosasi harus melibatkan multi pihak dan multi aktor, baik melalui pembangunan opini, pelatihan, seminar, dan kegiatan mengedukasi masyarakat lainnya agar dapat memahami agama secara lebih mendalam dan tidak terjebak masuk dalam jaringan radikal dan teroris. Sebagai contoh, Majelis Ulama' Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa tentang ISIS, pada 7 Agustus 2014, sangat membantu melakukan counter opini agar ideologi ISIS tidak berkembang dan menyebar, serta diikuti masyarakat. Beberapa poin yang terkandung dalam fatwa MUI tersebut, yaitu :
1. ISIS adalah gerakan radikal yang mengatasnamakan agama Islam, tetapi tidak mengedepankan rasa kasih sayang dan pengampunan terhadap sesama umat Islam sendiri.
2. Organisasi dan institusi Islam di Indonesia harus menolak kehadiran ISIS karena berpotensi memecah belah umat Islam di Indonesia serta mengganggu kedaulatan NKRI.
3. Menekankan pada seluruh umat Islam di Indonesia agar tidak mudah dihasut oleh ajaran ISIS yang beredar.
4. Mendukung penuh tindakan pemerintah dalam memberikan hukuman tegas sesuai Undang-undang terhadap semua orang yang memiliki keterkaitan dengan jaringan dan aktivitas terorisme di Indonesia.
Sekian artikel yang saya tulis, mohon maaf bila ada kesalahan..
Terima Kasih.
0 Response to "Pentingnya Deradikalisme"
Post a Comment