Pengertian al-Sunnah dan al-hadits
Kajian yang cermat dan
mendalam terhadap kedua ungkapan ini mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa al-hadits
tidak sama dengan al-sunnah. Masing-masing punya pengertian dan peran
yang berbeda. Al-hadits bukanlah perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi
Muhammad saw. Hal itu terlihat antara lain pada kenyataan bahwa al-hadits
itu ada yang benar dan ada pula yang tidak. Padahal, bila al-hadits itu
betul-betul perkataan, perbuatan, dan taqrir Muhammad saw sebagai Rasul Allah,
tentu saja, semuanya pasti benar. Di samping itu, di dalam Ilmu Hadis juga
sering diungkapkan bahwa setiap al-hadits itu terdiri atas sanad
dan matan. Sesuatu yang dikatakan sanad pasti bukan berasal dari
Nabi Muhammad saw. Pemahaman yang tidak tepat inilah yang sering menyulitkan
dan menimbulkan kesalahan dalam menyikapi al-hadits sebagai sumber
ajaran Islam.
Di samping itu, perbedaan di antara keduanya juga
bukan hanya sekedar perbedaan makna asal dari masing-masing ungkapan ini. Dalam
banyak uraian, dijelaskan bahwa pada mulanya, yang dimaksud dengan al-hadits
adalah perkataan Nabi, dan al-sunnah adalah perbuatan Nabi. Uraian
berikut ini akan menjelaskan perbedaan substansial dan fungsional dari al-hadits
dan al-sunnah yang perlu diketahui.
1.
Pengertian al-Sunnah
Secara etimologis, kata al-sunnah
berarti jalan yang biasa ditempuh (al-thariqat al-mu’abbadat atau al-sirat)
atau adat kebiasaan (al-thariqat al-mu’tadat)., yaitu prilaku dan pola
hidup yang telah mentradisi[1].
Dalam pengertian ini, al-sunnah berarti semua perbuatan atau prilaku
yang dikerjakan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan seseorang,
apakah perbuatan itu baik atau tidak. Misalnya, ada orang yang punya sunnah
bangun tengah malam untuk shalat dan berdoa, ada pula yang suka tidur siang,
bergunjing, duduk di warung kopi pada jam-jam tertentu, dan lain-lain. Pencetus
atau perintis dari suatu kebiasaan dalam suatu masyarakat dipandang sebagai
pembuat al-sunnah. Fazlur Rahman menyatakan bahwa arti al-sunnah
adalah memberikan sebuah teladan.[2]
Seseorang yang melakukan suatu kebiasaan yang kemudian diikuti oleh orang lain
berarti ia telah membuat suatu al-sunnah. Pembuat al-sunnah
merupakan seorang pelopor dari suatu tradisi dalam masyarakat. Pelaksanaan
upacara penaikan bendera di sekolah-sekolah serta berpakaian putih-putih pada
setiap hari Senin, misalnya adalah salah satu contoh sunnah yang berlaku di
Indonesia.
Bila dihubungkan dengan ajaran Islam,
pengertian al-sunnah adalah keteladanan yang telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad saw. sebagai utusan Allah. Semua perbuatan dan sikap hidup Nabi
Muhammad saw. merupakan penafsiran dan pengejawantahan dari al-Quran itu
sendiri, yang menjadi model bagi pelaksanaan ajaran Islam, yang harus
diteladani oleh setiap Muslim. Al-Quran menegaskan bahwa sikap hidup/akhlak
Nabi itu adalah contoh prilaku ideal yang agung.[3]
Lebih jauh, kata al-sunnah dipakai pula untuk pernyataan-pernyataan
lisan yang pernah diberikan oleh Nabi Muhammad sebagai penjelas dari ayat-ayat
al-Quran karena ia merupakan petunjuk dan aturan yang harus diperhatikan untuk
mengatur jalan hidup seorang Muslim. Dalam pengertian ini, al-sunnah
sesungguhnya adalah penjelasan yang diberikan oleh Nabi terhadap ayat-ayat
al-Quran yang disampaikannya atau pengejawantahan dari ajaran al-Quran yang
beliau bawa. Seiring dengan ini, Abu Zahwi menyatakan bahwa di dalam literatur
Islam, kata al-sunnah dipakai untuk segala perintah, larangan, dan
anjuran Nabi Muhammad saw., baik melalui perkataan maupun perbuatan yang tidak
termasuk dalam al-Quran.[4]
Ini berarti bahwa Nabi pernah memberikan perintah, larangan, dan/atau anjuran
di luar yang tercantum di dalam al-Quran. Penjelasan inilah yang disebut dengan
al-sunnah[5].
Untuk pemahaman lebih
jauh, perlu diingat bahwa salah satu prinsip dasar aqidah Islam ialah keyakinan
bahwa Allah Yang Maha Mencipta telah memberikan wahyu kepada manusia sebagai
panduan untuk menjalani dan melaksanakan tugas-tugas kehidupan di dunia ini
agar manusia dapat menjalani kehidupan di dunia ini sesuai dengan kehendak
Allah swt yang menciptakannya.[6]
Dengan kata lain, Allah telah menetapkan syariat (way of life) bagi
manusia. Semua aliran atau madzhab dalam Islam percaya bahwa manusia
membutuhkan wahyu dari Allah agar ia mempunyai pedoman untuk hidup sesuai
dengan kehendak Khaliq yang telah menciptakannya itu. Untuk itulah, Allah
mengutus para Rasul dengan tugas menyampaikan wahyu sebagai petunjuk dan
pedoman hidup bagi manusia. Manusia yang diciptakan dalam keadaan lemah dan
serba terbatas, tidak mungkin mengetahui dan mewujudkan tujuan yang dikehendaki
Allah tanpa bimbingan dan petunjuk langsung dari-Nya.
Kewenangan dan tugas Rasul
Allah tidak hanya terbatas pada penyampaian wahyu yang diterimanya, tetapi
lebih dari itu, ia juga diberi hak dan tugas untuk memberikan
penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan sehingga materi dan pesan wahyu tersebut
betul-betul dipahami dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.[7]
Rasul tidak sama dengan tukang pos yang hanya bertugas mengantarkan kiriman ke
alamat yang dituju, tanpa mengetahui apa isi kiriman itu. Para Rasul terlebih
dahulu mengetahui dan memahami isi wahyu yang dibawanya, bahkan merealisasikan
dalam kehidupannya masing-masing, sebelum mereka menyampaikannya kepada manusia
lain. Lebih dari itu, contoh-contoh amaliah yang diberikan Nabi merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari wahyu yang dibawanya itu.
Penjelasan-penjelasan
yang diberikan Rasul Allah itu, adakalanya berbentuk penjelasan lisan, dan
adakalanya dalam bentuk praktek, yaitu perbuatan dan sikap hidup yang
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sepanjang pelaksanaan tugasnya
sebagai utusan Allah, Nabi Muhammad saw. telah membuat pernyataan-pernyataan
yang berkaitan dengan wahyu yang disampaikannya. Beliau banyak memberikan
keterangan tentang berbagai konsep yang diperkenalkan oleh al-Quran serta
petunjuk teknis tentang hal-hal yang harus dilakukan oleh setiap Muslim sebagai
hamba Allah. Tindakan dan prilaku beliau sehari-hari adalah perwujudan dari
ajaran Islam yang beliau bawa. Nabi merupakan model yang mesti dicontoh dan
dijadikan acuan dalam perbuatan dan tindakan. Penjelasan dalam berbagai
bentuknya inilah yang dikenal dengan al-Sunnnat yang merupakan pelengkap
dan pendamping al-Quran.
Keduanya, al-Quran dan al-sunnah,
bagaikan Undang-undang dengan penjelasannya. Pemahaman dan pengamalan al-Quran
tidak mungkin dilakukan secara sempurna dan benar tanpa memperhatikan
al-sunnah. Contoh yang paling jelas ialah dalam hal shalat. Nabi menyatakan :
“Shalatlah kalian dengan cara-cara sebagaimana Aku melaksanakannya”. Dengan
demikian, tanpa memperhatikan dan merujuk cara shalat Nabi, seorang Muslim
tidak akan dapat melaksanakan shalat sebagaimana mestinya.
Hanya saja, proses pemeliharaan al-sunnah
tidak sama dengan proses pemeliharaan al-Quran. Kitab Suci al- Quran yang
merupakan wahyu Allah tersebut disampaikan oleh Nabi kepada para sahabatnya
persis sebagaimana beliau terima dari Allah. Nabi menyampaikan wahyu yang diturunkan
secara bertahap itu kepada para sahabat langsung setiap beliau selesai menerimanya. Berkenaan
dengan al-Quran, Nabi hanya sebagai pembawa atau penyampai ungkapan yang telah
diajarkan kepada beliau. Kemudian, beliau meminta para sahabatnya untuk menghafal
dan sebagian diantaranya untuk menulisnya. Nabi Muhammad saw tidak hanya
menyampaikan ayat-ayat al-Quran secara utuh dan lengkap, tetapi juga menentukan
tempat masing-masing dalam tatanan sebuah mushhaf seperti yang ada sekarang.
Beliaulah yang mengajari para sahabat dalam menyusun urut-urutan ayat al-Quran
yang tidak sama dengan urut-urutan turunnya. Para ulama mempercayai bahwa hal
itu dilakukan Nabi berdasar atas petunjuk dan bimbingan Allah swt. melalui
malaikat Jibril. Dalam ungkapan yang populer di kalangan ulama, penyusunan
ayat-ayat al-Quran bersifat tawqifiy. Setelah proses pengajaran dan
pencatatan itu selesai, beliau menjelaskan maksudnya satu persatu. Begitulah
yang terjadi setiap Nabi Muhammad saw menerima ayat-ayat al-Quran.
Dengan demikian, pada masa Nabi,
al-Quran dipelihara melalui hafalan para sahabat serta melalui catatan tertulis
yang dibuat di bawah pengawasan Nabi sendiri. Setelah Nabi wafat (dalam jarak
waktu yang kurang dari satu tahun), para sahabat langsung menghimpun catatan-catatan
wahyu menjadi satu mushaf. Melalui proses penghimpunan yang begitu cermat dan
teliti, pewarisan al-Quran berlangsung tanpa peluang untuk meragukan keaslian
dan keutuhannya. Justru itu, dilihat daris segi keberadaannya, al-Quran
dikatakan bersifat qath’iyy al wurud.
Sementara itu al-sunnah yang
berisi berbagai penjelasan Nabi, baik dalam bentuk perkataan maupun sikap dan
perbuatan, pewarisannya tidak dilakukan seperti halnya ayat-ayat al-Quran
sehingga tidak dapat dipastikan kandungan dan jumlahnya secara mutlak[8],
karena ia sangat bergantung pada laporan para sahabat yang melihat dan/atau
mendengar langsung berbagai tindakan dan ucapan Nabi Muhammad saw. Beliau tidak
menentukan tindakan dan/atau ucapan mana yang harus dicatat dan diriwayatkan.
Pengetahuan tentang sunnah Nabi tersebut didapatkan melalui penuturan para
perawi yang menyampaikannya secara berantai dari satu orang kepada orang lain
atau dari suatu generasi kepada generasi berikutnya, yaitu dari generasi
sahabat Nabi kepada generasi tabi’in, selanjutnya kepada generasi tabi’
tabi’in, dan demikian seterusnya. Mereka inilah yang berperan sebagai
sumber pengetahuan tentang al-sunnah. Dengan demikian, kandungan dan
jumlah al-sunnah ditentukan oleh banyak atau sedikitnya penuturan para
perawi yang terlibat. Ia bergantung pada laporan atau reportase dari para
perawi mengenai perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi. Hal ini pula yang
menyebabkan kandungan kitab-kitab hadits yang disusun oleh para ulama perawi
hadits tidak sama antara yang satu dengan lainnya. Masing-masing menghimpun
sesuai dengan laporan yang mereka terima, serta dicatat menurut kriteria dan
sistematika sendiri-sendiri. Menurut Fazlur Rahman, al-sunnah dalam
bentuk inilah yang dikatakan hadits[9], yaitu al-sunnah yang sudah
diceritakan. Ia menyatakan bahwa hadits adalah sarana
atau media untuk menyampaikan dan mengetahui al-sunnah. Dengan kata
lain, al-hadits adalah berita tentang al-sunnah.
Sejak masa Nabi masih hidup, diantara
sesama sahabat, telah terjadi pertukaran informasi tentang berbagai pengetahuan
dan pengalaman mereka selama bersama Nabi. Para sahabat yang pernah mendengar
penjelasan-penjelasan lisan Nabi dan/atau melihat perbuatan dan sikap beliau,
kemudian, menyampaikan semua yang mereka dengar dan lihat kepada sesama sahabat
atau kepada generasi tabi’in. Dengan demikian, berkembang periwayatan tentang al-sunnah.
Kebutuhan untuk menyebarkan informasi tentang al-sunnah sebagai sumber
kedua dari ajaran Islam tumbuh seiring dengan derasnya arus ekspansi komunitas
Muslim ke luar jazirah Arab. Ajakan kepada setiap Muslim untuk menyiarkan Islam
kepada siapa pun yang mereka temui adalah salah satu faktor pendorong untuk
menyampaikan penjelasan yang pernah mereka dengar dan saksikan dari Nabi.
Sebagian informasi ini disampaikan secara tertulis, dan sebagian lainnya secra
lisan dan ada pula yang dalam bentuk praktek atau amalan. Puncak usaha untuk
menyiarkan dan menyebarluaskan informasi tentang al-sunnah ini dilakukan para
ulama dengan penyusunan kitab-kitab al-hadits pada abad-abad ke-2 sampai dengan
abad ke-4 H.
2. Pengertian
al-Hadits
Secara etimologis, kata hadits mempunyai dua pengertian, yaitu al-jadid
(baru) dan al-ikhbar (pemberitaan)[10].
Pengertian pertama biasa dipakai dalam ungkapan seperti al-‘ashr al-hadits
yang berarti zaman baru atau zaman moderen. Pemakaian kata hadits terhadap al-sunnah
juga dapat dipahami dalam arti ini, yaitu dengan pengertian bahwa al-sunnah
adalah sesuatu yang baru. Dalam literatur Islam, disebutkan bahwa al-Quran
bersifat qadim, lama, sudah ada sejak zaman azali. Seiring dengan itu, al-sunnah
disebut hadits, baru, karena keberadaan al-sunnah muncul kemudian dari
al-Quran. Dengan demikian, penyebutan al-sunnah dengan sebutan al-hadits
dilatar-belakangi oleh kebaruannya, seiring dengan penyebutan al-Quran dengan
sebutan qadim karena keazaliannya.
Sedangkan contoh pemakaian kata
hadits pada pengertian kedua, al-ikhbar, dapat dilihat pada pemakaian
orang-orang Arab Jahiliah dan dalam rangkaian ayat-ayat al-Quran. Di kalangan
orang-orang Arab Jahiliah, berita tentang peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi dan selalu dikenang oleh masing-masing kabilah (ayyam Al-‘Arab =
semacam cerita rakyat) disebut al-hadits (bentuk jamaknya al-ahadits).
Sementara itu, ayat-ayat al-Quran yang menggunakan kata hadits dalam pengertian
ini dapat dikemukakan, diantaranya, sbb.:
وهل أتاك حديث موسى ... (طه 9)
Artinya : Apakah
telah datang kepadamu berita tentang Musa ?
...
فبأي حديث بعده يؤمنون (الأعراف 185)
Artinya : …. Maka
kepada berita mana lagi (selain al-Quran) mereka akan percaya ?
Kedua pengertian kata hadits,
seperti dikemukakan di atas, mempunyai
hubungan yang erat satu dengan lainnya sebab suatu berita pada hakikatnya dapat
membuat suatu kejadian yang sudah lama terjadi menjadi baru dan hadir kembali
di hadapan orang-orang yang mendengar dan membaca berita tersebut. Berita
membuat suatu peristiwa yang terjadi pada masa-masa yang sudah berlalu
seakan-akan baru saja terjadi.
Sedangkan pengertian terminologis
yang diberikan oleh para ulama terhadap kata al-hadits cukup beragam
sesuai dengan latar belakang dan sudut pandang masing-masing penyusunnya Justru
itu, dapat dipahami bila ada yang bingung karena rumusan yang dikemukakan
terkesan tidak konsisten. Kalangan ulama Ushul, para pakar hukum,
mendefinisikan hadits sama dengan sunnah, yaitu perkataan, perbuatan dan taqrir
Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum syariat dan timbul setelah
beliau diangkat menjadi Rasul Allah. Sesuai dengan sikap mereka yang bersikap
legal-formal, kalangan ini menyatakan bahwa al-hadits adalah segala
ketentuan dan aturan yang mengikat bagi setiap perbuatan manusia. Menurut
mereka, perkataan dan tindak-tanduk Nabi Muhammad yang mengikat secara hukum hanya timbul setelah beliau diangkat
menjadi Rasul. Segala hal yang terjadi sebelum itu, meskipun layak untuk
dijadikan teladan, namun tidak mengikat dan tidak dapat dijadikan sebagai
landasan penetapan suatu hukum. Hanya saja, definisi seperti ini menimbulkan
kesuliatan ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa di dalam literatur, hal-hal
yang tidak berasal dari Nabi Muhammad saw. juga disebut al-hadits,
seperti dalam ungkapan hadits maudhu’ (berita yang secara bohong
dikaitkan dengan Nabi), hadits Mauquf (berita tentang sahabat Nabi), dan
hadits Maqthu’ (berita tentang tabi’in). Bagaimana pun juga, hal-hal
yang dikemukakan terakhir ini tetap disebut hadits padahal tidak berhubungan
secara real dengan Nabi. Tampaknya, para pakar ushul menolak begitu saja
eksistensi hadis semacam ini. Tentu saja, suatu ungkapan baru dapat dikatakan
hadis setelah diteliti lebih dahulu kebenarannya bahwa ia benar-benar bercerita
tentang perkataan dan tindak-tanduk Nabi Muhammad saw.
Sementara itu, sebagian ulama
mendefinisikan hadits sbb.:[11]
ما
أضيف إلى النبي ص م من قول أوفعل أو تقرير أو وصف خلقي أو خلقي
Artinya : Segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nbi Muhammad saw., baik berupa perkataan maupun
perbuatan, taqrir, serta sifat–sifat fisik dan psikis.
Kata kunci
dalam definisi ini kata udhifa. Menurut definisi ini, hadits bukanlah
perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat-sifat fisik dan psikis Nabi, melainkan
perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat-sifat fisik dan psikis yang di-idhafah-kan
kepada Nabi., yaitu segala yang disandarkan (dihubung-hubungkan = dikaitkan)
kepada Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat-sifat
fisik dan psikis. Disandarkan maksudnya dinyatakan oleh periwayatnya bahwa apa
yang ia sampaikan adalah ucapan atau perbuatan dan sifat-sifat Nabi Muhammad
saw. Dalam pengertian ini, hadits adalah pernyataan perawi tentang nabi, bukan
pernyataan Nabi sendiri. Benarkah, apa yang dinyatakan sebagai perkataan,
perbuatan, dan taqrir serta sifat-sifat Nabi tersebut betul-betul berasal dari
dan berhubungan dengan Nabi Muhammad saw? Apakah pernyataan tersebut benar atau
tidak? Inilah yang menjadi objek kajian ulama hadits. Dengan begitu, al-hadits
bukan perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad saw., melainkan perkataan
para periwayat tentang Nabi Muhammad saw, baik tentang perkataan Nabi maupun
peerbuatan dan sikap, bahkan juga tentang sifat-sifat fisiknya.
Senada dengan itu, Ibnu Hajar menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan hadits ialah semua yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw.[12]
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Quraish Shihab yang menyatakan bahwa
umumnya ulama mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang dinisbahkan
kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan, dan taqrir maupun sifat fisik dan
psikis, baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.[13]
Kedua rumusan ini mengisyaratkan bahwa al-hadits ialah semua pemberitaan
yang dikaitkan dengan Nabi, yaitu semua yang dinyatakan oleh para perawi
sebagai ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad saw. Definisi seperti
ini dikemukakan untuk memisahkan pernyataan yang betul-betul berasal dari Nabi
atau mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan Nabi dengan
berbagai pernyataan yang tidak berasal dari beliau. Belum tentu apa yang
dinyatakan hadits benar-benar berasal atau berhubungan dengan Nabi Muhammad
saw. Sesuai dengan kenyataan, bahwa banyak ungkapan yang disebut hadits tidak
berasal dari dan tidak berhubungan dengan Nabi.
Di samping,
definisi seperti dirumuskan di atas, ternyata masih ada rumusan lain yang
cakupannya lebih luas, yaitu mencakup hal-hal yang berasal dari dan/atau
berkaitan dengan sahabat dan tabiin. Dalam pengertian ini, al-hadits
tidak hanya berita tentang sunnah Nabi, tetapi juga berita tentang sunnah
sahabat dan tabiin. Nur al-Din ‘Itr, seorang pakar tafsir dan hadits dari
Universitas Damaskus, merumuskan definisi hadits yang dipandangnya lebih
mencakup semua yang dikatakan hadits, yaitu :[14]
ماأضيف إلى النبي ص م من قول أو فعل أو تقرير
أو وصف خلقي أو خلقي أو أضيف إلى الصحابي أو التابعي
Artinya : Semua
perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat fisik dan psikis yang disandarkan
kepada Nabi saw. atau kepada sahabat dan tabiin.
Dalam
pengertian ini, hadits adalah berita dari seorang perawi yang menceritakan
segala perkataan, perbuatan, ketetapan, serta sifat-sifat fisik dan psikhis
yang dihubungkan dengan Nabi, sahabat, dan tabiin.
Bertolak dari
uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa sesungguhnya hadits adalah berita
tentang sunnah Nabi Muhammad saw. serta sunnah para sahabat dan tabi’in, yang
meliputi berita tentang perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Hadits merupakan
media untuk mengetahui berbagai penjelasan dari wahyu Allah yang pernah diberikan
oleh nabi, sahabat, dan tabiin. Penjelasan itu adakalanya berbentuk ucapan
(perintah, larangan, atau uraian-uraian dalam bentuk lisan), dan adakalanya
dalam bentuk perbuatan atau taqrir. Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas,
hadits juga mencakup gambaran tentang keadaan fisik dan psikis Nabi.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa segala hal yang diberitakan dalam sebuah hadits
belum tentu berbicara tentang sunnah Nabi yang merupakan penjelasan otoritatif
terhadapa al-Quran. Hadits tidak sama dengan sunnah. Hadits merupakan berita
tentang sunnah. Oleh karena itu, dalam Ilmu Hadits dikatakan bahwa suatu hadits
terdiri atas sanad dan matan.[15]
Di dalam sebuah hadits dijelaskan sumber informasi (sanadnya) beserta proses
penyampaian dan kandungan informasinya. Itu sebabnya, untuk keabsahan suatu
hadits, perlu diteliti dengan cermat hal-hal yang terkait dengan ketiga aspek
ini.
Di samping
kata hadits, para ulama sering pula memakai kata-kata atsar dan khabar.
Pada umumnya, mereka menggunakan ketiga kata ini dalam pengertian yang sama.
Shubhi al-Shalih menegaskan bahwa menyamakan pemakaian hadits dengan khabar
lebih patut dibandingkan dengan menyamakan hadits dengan sunnat. Akan
tetapi, sebagian ulama berpendapat lain.
Bagi mereka, masing-masing kata ini mempunya makna tersendiri. Misalnya, ada
yang mengatakan bahwa khabar lebih umum daripada hadits. Khabar mencakup segala
berita yang berkenaan dengan Nabi dan yang tidak berkenaan dengannya. Sementara
hadits, khusus untuk berita yang berkaitan dengan Nabi. Setiap hadits adalah
khabar, tetapi tidak semua khabar dapat dikatakan hadits. Sedangkan ahli fikih
Khurasan menggunakan sebutan atsar khusus untuk berita yang bersumber dari
sahabat (al-Mawquf), dan hadits yang bersumber dari Nabi.
Sebagai
pegangan, di dalam uraian ini, kata-kata hadits, khabar, dan atsar
digunakan untuk pengertian yang sama yaitu semua berita yang dinisbahkan kepada
Nabi, sahabat, dan tabiin. Sedangkan kata al-sunnah dipakai hanya untuk
menyebut sunnah Nabi, yaitu segala penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad
saw., baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan dan sikap beliau. Dalam
pengertian ini, al-hadits dipahami sebagai media untuk mengetahui al-sunnah.
[1]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi
‘Ulum al-Hadits, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1981), hal.. 26.
[2]Lihat
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas Mahyuddin, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1984), hal. 9.
[3]Lihat
al-Quran surah al-Qalam ayat 4 dan al-Ahzab ayat 21. Dalam sebuah riwayat
dikemukakan bahwa ketika Aisyah, istri Nabi, ditanya tentang akhlak beliau, ia
menjawab bahwa akhlak Nabi itu adalah al-Quran. Ini berarti bahwa membaca
kehidupan Nabi pada hakikatnya sama dengan membaca ayat-ayat al-Quran.
[4]Muhammad
Muhammad Abu Zahwi, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Kairo: 1378 H.), hal. 9.
[5]Berbeda
dengan pengertian ini, ulama fikih menggunakan ungkapan sunnah dalam pengertian
hukum, yaitu segala perbuatan yang bila dikerjakan akan memberikan pahala bagi
pelakunya, tetapi bila tidak dikerjakan, yang bersangkutan tidak akan
berdosa.
[6]Tidak
satupun aliran atau paham yang timbul di kalangan umat Islam yang menyatakan
bahwa manusia tidak membutuhkan wahyu dari Allah. Semua aliran/madzhab yang
ada, baik yang tradisional maupun yang rasional, sependapat bahwa manusia
selalu memerlukan bimbingan dan petunjuk dari Allah agar mereka dapat menjalani
hidup ini dengan baik sesuai dengan kehendak Khaliqnya. Karena itu, tidak benar
pendapat yang mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah mengesampingkan atau
membelakangkan wahyu.
[7]Dalam
pengertian inilah, para ulama memahami al-Quran surah al-Nahl ayat 44.
[8]Berkenaan
dengan al-sunnah, Nabi Muhammad tidak menentukan bagi para sahabatnya mana yang
harus dihafal dan dicatat. Atas dasar perintah untuk mengikuti dan meneladani
Muhammad sebagai Rasul Allah, para sahabat berinisiatif untuk saling
menginformasikan tentang apa pun yang mereka ketahui mengenai beliau.
Kadang-kadang, mereka mereka menceritakan sesuatu mengenai Nabi setelah ditanya
oleh orang lain.
[9]Fazlur
Rahman, op. cit., hal. 45.
[10]Luwais
Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa al-‘Ulum, (Beirut:
Mathba’ah Katholikiah, 1960), hal. 121.
[11]Nur al-Din ‘Itr, loc. cit.,
hal. 26.
[12]Lihat
Jalal al-Dihn al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
(Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), hal. 42.
[13]M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992),
hal. 121.
[14]Nur
al-Din ‘Itr, op. cit., hal. 27.
[15]Sanad
adalah rangkaian orang-orang yang terlibat dalam peyampaian berita, yaitu
mereka yang dinyatakan sebagai sumber informasi mengenai pemberitaan itu.
Hadits-hadits yang kita dapatkan sekarang dihimpun dan ditulis dalam sebuah
kitab jauh setelah Nabi wafat. Oleh karena itu, para penulis/periwayat hadits
ini senantiasa mencantumkan nama orang-orang yang menjadi rujukan mereka.
Rangkaian nama orang inilah yang disebut sanad (sandaran = rujukan). Sedangkan
matan merupakan materi informasi yang disampaikan oleh pemberitaan/hadits itu.
0 Response to "Pengertian AL-Sunnah & AL-Hadits"
Post a Comment