Makna Laa ilaaha illallaah
Makna
"Laa ilaaha illallaah" adalah membuang ketundukan dan penghambaan
kepada kekuasaan selain kekuasaan Allah dan hukum selain hukum-Nya dan perintah
selain perintah-Nya. Ia juga berarti menolak segala bentuk loyalitas selain
loyalitas kepada-Nya dan menolak segala bentuk cinta selain cinta kepada-Nya
dan cinta karena-Nya.
Untuk
memperjelas makna tersebut, maka kami katakan bahwa sesungguhnya unsur
(komponen) tauhid sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran ada tiga yaitu dalam surat Al An'am --surat yang memperhatikan ushulut-tauhid
(prinsip-prinsip ketauhidan)-- sebagai berikut:
Pertama,
hendaknya kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain Allah. Allah
berfirman:
"Katakanlah:
"Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal. Dia adalah Tuhan
bagi segala sesuatu ..." (Al An'am: 164)
Kedua,
hendaknya kamu tidak mencari wali (penolong) kepada selain Allah. Allah
berfirman:
"Katakanlah:
"Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan
langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan ...."
(Al An'am: 14)
Ketiga,
hendaknya kamu tidak mencari hakim selain daripada Allah. Allah berfirman:
"Maka
patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu dengan terperinci?" (Al An'am: 114)
Makna unsur yang pertama
--"Hendaklah kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain
Allah"-- adalah menolak seluruh tuhan-tuhan palsu yang disembah oleh
manusia, baik di zaman dahulu atau sekarang ini, baik di timur atau di barat,
baik dari batu, pohon-pohonan, perak dan emas, ataupun mata hari dan bulan atau
dari golongan jin dan manusia. Ia juga berarti menolak seluruh tuhan-tuhan
selain Allah sekaligus mengumumkan revolusi untuk melawan orang-orang di bumi
yang mengaku tuhan dan bersikap sombong tanpa dasar yang benar, yaitu mereka
yang ingin memperbudak hamba-hamba Allah.
"Laa
ilaaha illallaah" adalah deklarasi untuk membebaskan manusia dari
segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada selain Allah, sebagai
penciptannya. Maka tidak boleh bersujud, tunduk dan khusyu' kecuali kepada
Allah Pencipta langit dan bumi.
Oleh
karena itu Nabi SAW mengakhiri surat-surat yang beliau kirimkan kepada para
raja dan penguasa serta para kaisar dari kaum nasrani ayat berikut ini:
"Katakanlah:
"Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula)
sebagian kita menyadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (Ali 'Imran: 64)
Kata-kata
"Rabbunallah" adalah berfungsi sebagai pengumuman tentang
pembangkangan dan penolakan terhadap segala kediktatoran di bumi ini.
Karena
itulah Nabi Musa AS menghadapi ancaman pembunuhan, dan pada saat itu ada
seorang laki-laki beriman dari keluarga Fir'aun yang membela, seraya berkata,
sebagaimana dikisahkan oleh Al Quran:
"Dan
seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang
menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang
laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah." padahal dia
telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu
..." (Al Mukmin (Ghafir): 28)
Karena
itu pula Nabi kita Muhammad SAW dan para sahabatnya juga menghadapi tekanan,
siksa dan pengusiran dari tanah air dan perampasan harta, sebagaimana
disebutkan oleh Al-Quran:
"(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata:
"Tuhan kami hanyalah Allah" ...." (Al Hajj: 40)
Makna
unsur yang kedua "Hendaklah kamu tidak menjadikan selain Allah sebagai wali
(pendukung)" adalah menolak (tidak memberikan) wala' atau
loyalitasnya kepada selain Allah dan golongannya, karena bukanlah tauhid itu
suatu pengakuan bahwa Tuhannya adalah Allah, tetapi pada saat yang sama dia
memberikan wala', kecintaan dan dukungannya kepada selain Allah, bahkan
kepada musuh-musuh-Nya. Allah swt berfirman:
"Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscsya lepaslah ia dari
pertolongan Allah ..." (Ali 'Imran: 28)
Sesungguhnya
hakikat tauhid bagi orang yang beriman bahwa sesungguhnya Tuhannya adalah
Allah. Hendaknya ia memurnikan ketaatan kepada-Nya dan kepada orang-orang yang
beriman kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan
barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang- orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang" (Al Maidah, 55-56)
Dari
sinilah Al-Quran menyatakan pengingkaran terhadap orang-orang musyrik bahwa
mereka itu telah membagi-bagi hati mereka antara Allah SWT dengan tuhan-tuhan
lain yang mereka sembah yaitu dari berhala-berhala dan patung-patung. Mereka
telah memberikan kecintaan dan wala' mereka kepada tuhan-tuhan itu sebagaimana
mereka memberikannya kepada Allah. Allah SWT berfirman:
"Dan
sebagian manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah ..." (Al Baqarah: 165)
Sesungguhnya
Allah SWT tidak menerima syarikah (persekutuan) dalam hati para
hamba-Nya yang beriman, maka tidak boleh sebagian hati kita, kita berikan
kepada Allah, kemudian sebagian yang lain lagi untuk Thaghut. Tidak boleh kita
memberikan sebagian wala'nya kepada Al-Khaliq (pencipta) dan sebagiannya
lagi kepada makhluk. Sesungguhnya seluruh wala' dan seluruh tumpuan hati
hendaknya wajib diberikannya kepada Allah, yang memiliki seluruh makhluk-Nya
dan seluruh perkara yang ada. Inilah perbedaan antara mukmin dan musyrik. Orang
mukmin itu menyerahkan (dirinya) kepada Allah, memurnikan 'ubudiyahnya
kepada Allah, sedangkan orang musyrik itu memilah-milah antara Allah dan selain
Allah. Allah SWT berfirman:
"Allah
membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh
beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang
menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama
halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui." (Az-Zumar: 29)
Makna
unsur yang ketiga --"Hendaklah kamu tidak mencari hakim kepada selain
Allah" -- adalah menolak ketundukan kepada setiap hukum selain hukum
Allah, setiap perintah selain perintah dari Allah, setiap sistem selain sistem
yang ditetapkan Allah, setiap undang-undang selain syari'at Allah dan setiap
aturan, tradisi, adat istiadat, manhaj, fikrah dan nilai yang
tidak diizinkan oleh Allah. Maka barangsiapa yang menerima sedikit dari semua
itu baik sebagai hakim atau yang dihukumi, tanpa izin dari Allah berarti dia
telah mernbatalkan salah satu unsur yang asasi dari unsur-unsur tauhid, karena
ia telah mencari hakim selain Allah, padahal hukum dan tasyri' itu termasuk hak
Allah saja. Allah SWT berfirman:
"Keputusan
(hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." (Yusuf: 40)
Unsur
ini sebenarnya merupakan konsekuensi tauhid rububbiyah dan uluhiyah Allah,
karena sesungguhnya orang yang menjadikan seseorang dari hamba Allah sebagai
pembuat hukum dan yang menentukan, ia memerintahkan dan melarang sesuai dengan
kemauannya, menghalalkan dan mengharamkan semaunya serta memberikannya hak
ketaatan dalam hal itu, meskipun ia menghalalkan yang haram, seperti zina,
riba, khamr, dan judi, kemudian juga mengharamkan yang halal seperti thalaq
(menceraikan) dan berpoligami.
Dan juga menggugurkan kewajiban-kewajiban,
seperti khilafah, jihad, zakat, amar ma'ruf dan nahi munkar,
dan menegakkan ketentuan-ketentuan Allah dan yang lainnya. Barangsiapa yang
menjadikan orang seperti ini sebagai hakim dan syari' (pembuat
undang-undang) maka sebenarnya dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang
ditaati segala perintahnya dan dipatuhi segala peraturannya. Inilah yang
dijelaskan di dalam Al-Quran dan diuraikan oleh Sunnah Nabi. Al-Quran
menggambarkan perilaku Ahlul Kitab sebagai berikut:
"Mereka
menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan."
(At-Taubah: 31)
Bagaimana
bisa mereka itu dikatakan telah menjadikan orang-orang alim dan rahib mereka
sebagai tuhan-tuhan, padahal tidak bersujud kepada mereka dan tidak menyembah
mereka sebagaimana penyembahan terhadap berhala?
Pertanyaan
ini dijawab oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Tirmidzi dan Ibnu Jarir yaitu tentang kisah Islamnya 'Ady bin Hatim Ath-Thaa'i
yang sebelumnya beragama Nasrani kemudian datang ke Madinah dan orang-orang
membicarakan tentang kedatangannya. Maka ia mendatangi Rasulullah SAW, sedang
di lehernya terdapat salib dari perak. Ketika itu Rasulullah SAW membacakan
ayat: "Ittakhadzuu Ahbaarahum wa ruhbaanaham arbaaban min duunillaah."
'Ady berkata: "Sesungguhnya mereka tidak menyembah rahib-rahib itu!"
Maka Nabi SAW bersabda: "Ya, mereka itu telah mengharamkan atas
pengikut-pengikutnya yang halal dan menghalalkan kepada mereka yang haram,
sehingga para pengikut itu mengikuti mereka, maka itulah ibadah mereka terhadap
para rahib." (HR. Tirmidzi)
Ibnu
Katsir berkata: "Demikianlah Hudzaifah bin Yaman dan Ibnu Abbas mengatakan
penafsiran ayat tersebut, karena mereka telah mengikuti para rahib itu dalam
hal yang para rahib itu telah halalkan dan haramkan."
As-Su'dy
mengatakan: "Mereka telah memperturuti para ulama mereka, pada saat yang
sama mereka membuang kitab Allah di belakang punggung mereka, untuk itu Allah
SWT berfirman: "Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah
kepada Tuhan Yang Esa." Yaitu tuhan yang apabila mengharamkan sesuatu maka
itu menjadi haram, dan apa saja yang telah Dia halalkan maka menjadi halal, apa
yang telah ditetapkan dalam syari'at maka harus diikuti dan apa yang telah
diputuskan maka harus dilaksanakan, tiada ilah (Tuhan) selain Dia, Maha
Suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan."
Inilah
kesimpulan makna kalimat yang pertama dari kedua kalimat syahadah, yakni
kalimat "Laa ilaaha illallaah" yang konsekuensinya adalah:
tidak mencari Rabb selain Allah, tidak menjadikan selain Allah sebagai wali
(penolong) dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim, sebagaimana
diucapkan/dikatakan oleh Al-Quran dalam ayat-ayatnya yang sharih dan
yang muhkamat.
Makna Muhammadan Rasulullah
Adapun
kalimah yang kedua dari kalimat syahadah yang berfungsi sebagai syarat sahnya
seseorang masuk Islam adalah "Muhammadan Rasulullah." Karena
sesungguhnya mengakui keesaan Allah Ta'ala sebagai Ilah dan Rabb itu tidak
cukup apabila tidak disertai pengakuan yang kedua, yaitu bahwa Muhammad adalah
utusan Allah.
Sesungguhnya
hikmah (kebijaksanaan) Allah telah menghendaki, di mana Allah tidak
membiarkan manusia ada tanpa makna, dan tidak membiarkan mereka tanpa arti.
Untuk itu Allah mengutus kepada mereka dalam setiap kurun waktu para penyampai
risalah yang berfungsi memberikan petunjuk, membimbing dan mengarahkan kepada
mereka untuk memperoleh ridha-Nya dan menghindarkan mereka dari murka-Nya,
itulah mereka para Rasul. Allah SWT berfirman:
"(Mereka
Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar tidak ada alasan bagi manasia membantah Allah sesudah diutusnnya
rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(An-Nisaa': 165)
Sebagaimana
juga bahwa tugas para Rasul itu adalah membuat kaedah-kaedah, nilai-nilai dan
standar yang mengatur kehidupan dalam masyarakat serta memberi petunjuk ke arah
yang benar. Manusia bisa menjadikan itu sebagai pedoman apabila mereka
berselisih, dan bisa kembali kepadanya apabila terjadi saling bermusuhan,
sehingga mereka memperoleh kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kemuliaan, jauh
dari kebathilan, kezhaliman, keburukan dan kerusakan. Allah swt berfirman:
"Sesungguhzya
Kami telah mengutus rasul- rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia
dapat melaksanakan keadilan." (Al Hadid: 25)
Inilah
sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul-Nya berupa Al Kitab yang
terangkai di dalamnya nash-nash wahyu ilahi yang terpelihara. Dan "Al-Mizan"
(timbangan) yang itu merupakan standar nilai-nilai Rabbani yang
ditunjukkan oleh para Nabi berupa percontohan ideal dan keutamaan manusiawi
yang berjalan di bawah pancaran Kitabullah.
Kalau
bukan karena keberadaan (tanpa) mereka, para rasul, niscaya manusia akan
tersesat dari jalannya untuk memahami hakikat uluhiyah dan jalan menuju
ridha-Nya. Dalam hal pelaksanaan kewajiban mereka terhadap Allah, tentu mereka
akan membuat cara sendiri-sendiri dengan metode yang berbeda-beda. Sesungguhnya
Allah tidak menurunkan hukumnya untuk memecah-belah melainkan untuk
mempersatukan, tidak untuk merobohkan akan tetapi untuk membangun, dan tidak
dalam rangka menyesatkan tetapi memberi petunjuk.
Utusan
yang terakhir adalah Muhammad SAW dialah yang menyampaikan perintah, hukum dan
syari'at Allah. Melalui dia kita mengetahui apa-apa yang diinginkan oleh Allah
dari kita dan apa-apa yang diridhai oleh Allah atas kita, apa-apa yang
diperintahkan oleh Allah kepada kita dan apa-apa yang dilarang-Nya. Melalui
Nabi kita mengenal Rabb kita, kita mengetahui dari mana asal kita dan
hendak kemana kita menuju, kita mengetahui jalan hidup kita, mengenal halal dan
haram dan mengetahui kewajiban-kewajiban. Kalau bukan karena Nabi SAW, maka
kita akan hidup dalam kegelapan tanpa mengenal tujuan dan tidak tahu jalan,
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab
yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah
datang kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab
itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari
gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (Al Maaidah: 15-16)
Melalui
Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa di balik kehidupan ini masih ada kehidupan
lainnya, di mana akan dimintai pertanggungjawaban setiap jiwa manusia terhadap
apa yang ia perbuat, dan akan dibalas apa yang ia kerjakan. Maka orang-orang
yang berbuat buruk, akan dibalas sesuai dengan amalnya, dan orang-orang yang
berbuat kebajikan akan dibalas dengan kebaikan pula.
Melalui
Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa sesungguhnya di balik apa yang kita
lakukan itu ada hisab (perhitungan) dan mizan (timbangan amal), ada pahala dan
siksa, serta surga dan neraka. Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun (atom), niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah: 7-8)
Melalui
Nabi SAW kita mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kaedah-kaedah keadilan
serta nilai-nilai kebaikan dalam syari'at (suatu aturan hidup) yang
tidak menyesatkan dan tidak melalaikan. Syari'at yang dibuat oleh Dzat
yang mengetahui rahasia, Dzat yang tidak ada yang mampu bersembunyi dari-Nya,
Dzat yang mengetahui siapa yang merusak dan siapa pula yang memperbaiki. Allah
SWT berfirman .
"Apakah
Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan
rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al Mulk: 14)
Untuk
itulah maka kalimat "Muhammadan Rasulullah" adalah penyempurna dari
kalimat "Laaa ilaaha illallaah" yang artinya tiada yang berhak
disembah selain Allah, sedangkan arti berikutnya adalah, tidak sah untuk
menyembah Allah kecuali dengan syari'at dan wahyu yang disampaikan oleh Allah
melalui lisan Rasul-Nya.
Tidak
heran apabila ketaatan kita kepada Rasulullah SAW itu merupakan bagian dari
ketaatan kita kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT:
"Barangsiapa
taat kepada Rasul maka taat kepada Allah." (An-Nisaa':80)
Dan
ittiba' kita kepada Rasul termasuk salah satu tanda kecintaan kita kepada Allah
SWT:
"Katakanlah:
'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Ali 'Imran: 3)
0 Response to "Perkuat Aqidah dgn mendalami makna: ''Laa ilaaha illallaah'' dilanjut dgn kalimah ''Muhammadan Rasulullah''"
Post a Comment