Pendekatan Teologis Normatif dalam Studi Islam



Pendekatan Teologis Normatif
 
Pendekatan teologis normative dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bajwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar disbandingkan dengan yang lainnya.

Hasil gambar untuk teologis normatif
Menurut informasi yang diberikan The Encyclopaedia Of American Religion, bahwa di Amerika Serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu diantaranya adalah sekte Davidian yang pada bulan April 1993 dimana pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototip pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis misiani dan tradisionalis. Keempat prototip pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah untuk disatukan dengan begitu saja.

Pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol  keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa paham-nyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya.

 Dengan demikian antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme). Sekaligus perlu dikaji lebih lanjut adalah mengapa ketika archetype atau form keberagaman (religiosity) manusia telah terpecah dan termanifestasikan dalam “wadah” formal teologi atau agama tertentu, lalu “wadah” tersebut menuntut bahwa hanya “kebenaran” yang dimilikinyalah yang paling unggul dan paling benar. Yang disebutkan di atas dengan mengklaim kebenaran (truth claim), yang menjadi sifat dasar teologi, sudah barang tentu mengandung implikasi pembentukan mode of thought yang bersifat partikularistik, ekklusif dan sering kali intoleran.

Berkenaan dengan pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas. Saat sekarang ini terlebih-lebih lagi kenyataan demikian haru ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan social kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi social kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi ummat beragama. Tapi, justeru keterlibatan institusi dan pranata social kemasyarakatan dalam wilayah keberagamaan manusia itulah yang kemudian menjadi bahan subur bagi peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam “budaya” tertentu secara lebih obyektif lewat pengamatan empirik factual, serta factual, serta pranata-pranata social kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
 


Berkenaan dengan hal di atas, maka saat itu muncul apa yang disebut dengan istilah teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau penghayatan agamannya, suatu penafsiran atas sumber-smber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini. Yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub, yaitu teks dan situasi, masa lampau dan masa kini.
Salah satu cirri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis ini ditujukan pertama-tama pada agamanyasendiri (agama sebagai institusi social dan kemudian juga kepada situasi yang diahadapinya). Teologi sebagai kritik agama berati antara lain mengungkapkan berbagai kecenderungan dalam institusi agama yang menghambat panggilannya; menyelamatan manusia dan kemanusiaan.
Teologi kritis bersifat kritis pula terhadap lingkungan. Hal ini hanya dapat terjadi kalau agama terbuka juga terhadap ilmu-ilmu social dan memanfaatkan ilmu tersebut bagi pengembangan teologinya. Penggunaan ilmu-ilmu social dalam teologi merupakan fenomena baru dalam teologi. Lewat ilmu-ilmu social dalam itu dapat diperoleh gambaran mengenai situasi yang ada. Melalui analisis ini dapat diketahui berbagai factor yang menghambat ataupun yang mendukung realisasi keadilan social dan emansipasi.
Uraian di atas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melaui mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas diperlukan antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Ketika tradisi agama secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bias jadi spirit agama yang paling “hanif” lalu terkubur oleh symbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri.
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normative, yaitu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Kebnaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal.

Related Posts :

0 Response to "Pendekatan Teologis Normatif dalam Studi Islam"

Post a Comment

Popular Posts