PERIODESASI FIQH PADA MASA SAHABAT
(KHULAFAUR RASYIDIN)
Dengan wafatnya Rasulullah saw, maka
berarti wahyu yang diturunkan pun ikut berhenti. Kedudukan beliau diganti oleh
khulafaur Rasydin. Adapun tugas dari seorang khalifah adalah menjaga kesatuan
umat dan pertahanan negara.
Masa mulai dari periode khulafaur
Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior , hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu
dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661
M).
Pada masa ini daerah kekuasaan Islam
semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti
Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama
Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah tersebut.
Di periode sahabat ini, kaum
muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa Al-qur’an
dan Hadits Rasul. Kemudian dilengkapi dengan ijma’ dan qiyas, diperkaya dengan
adat istiadat dan peraturan-peraturan berbagai daerah yang bernaung dibawah
naungan Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah
dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang empat, yaitu:
Al-Kitab, As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra’yu dan Ijma’ yang bersandar
pada Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).
Sahabat-sahabat besar dalam periode
ini menafsirkan nash-nash hukum dari Al Qur’an maupun dari Al Hadits, yang
kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash itu.
Selain itu para sahabat besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah
besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah terhadap
kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya yang jelas mengenai hal itu, yang
kemudian menjadi dasar ijtihad(Asshiddieqi, 1999)..
v Metode Dalam Mengenal Hukum
Para Khulafaur Rasyidin dalam
menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari
nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran
dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta
pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka
menetapkan pendapat itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’
(Djafar, 1992).
Untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi.
Para sahabat banyak yang hafal al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan
ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada
al-Qur’an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib
hadits tidak sebagus al-Qur’an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada
al-Qur’an. Disamping dihafal, al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber
hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum
itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada umumnya dalam memutuskan hukum,
sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain,
takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an
bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil dari hasil
consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan Islam,
tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.
Pada awal masa sahabat ini , yaitu
pada masa kholifah Abu Bakar dan masa kholifah Umar, para sahabat dengan cara
bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum
yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut
sebagai ijma’ sahabat.
Kholifah Umar pun berbuat demikian,
yaitu apabila sulit baginya mendapatkan hukum dala al-qur’an dan as-sunnah,
amka beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan terhadap masal
itu. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar memutuskan
dengan hukum itu, dan kalau tidak maka beliau memanggil pemuka-pemuka kaum
muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka belau memeberikan
keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.
Metode yang digunakan pada masa
sahabat dapat ditempuh melalui beberapa cara diantaranya :
- Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Contohnyabagaimanahukummembakar harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum.
- Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat
dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada
dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus
tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.
v Keistimewaan Fiqih Pada Masa
Khulafaur Rasyidin:
Pada masa Sahabat merupakan masa
perkembangan fiqih yang diistilahkan sebagai masa muda remaja yang dimulai dari
periode Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat senior hingga lahirnya imam
mazhab dari tahun 11-132 H. Meliputi periode Khulafaur Rasyidin (11-40 H =
632-661 M) dan periode Umayyah (40-132 H = 661-750 M).
Ada 3 keistimewaan yang menonjol
pada masa Khulafaur Rasyidin, yaitu:
a. Kodifikasi ayat-ayat al-Qur’an
serta menyebarkannya yang dimaksudkan untuk mempersatukan umat Islam dalam satu
wajah tentang bacaan al-Qur’an agar tidak ada perbedaan yang berakibat
perpecahan.
b. Pertumbuhan tasyri’ dengan ra’yu
sebagai motivasi besar terhadap para fuqaha untuk menggunakan rasio sebagai
sumber ketiga yaitu qiyas.
c. Pengaturan peradilan.
Setelah masa Khulafaur Rasyidin
kemudian diganti dengan masa Dinasti Umayyah, berkembanglah Ahlul Hadist
disamping Ahlu Ra’yi. Bahkan perbedaan pendapat antara 2 kelompok ini semakin
tajam pada dinasti Abbasiyah (132-656 H) dan kian bertambah subur dan
berkembang dengan baik serta menjadi gerakan ilmiah yang berpengaruh luas yang
kemudian melahirkan mazhab-mazhab fiqhi dalam Islam. Keistimewaan pada periode
Khulafaur Rasyidin bahwa fiqih pada masa ini muncul sesuai dengan perjalannya
waktu. Dalam artian, kapan ada suatu permasalahan yang tidak terdapat di dalam
Nash, maka para mujtahidin berusaha menggali hukumnya dari al qur’an dan
sunnah.Dalam masa ini terjadi pengumpulan al qur’an dan menjadikannya dalam
satu mushaf. Hal ini terjadi karena untuk menghindari perpecahan diantara umat
islam yang sudah mulai merambah ke seluruh tanah arab.
Dalam masa ini juga belum ada
periwayatan hadits, kecuali jika ada sebuah kebutuhan untuk mengetahui suatu
hukum. Di masa ini juga telah menghadirkan sumber hukum baru yaitu ijma’.
Dan
ini banyak sekali timbul permasalahan yang merujuk pada ijma’.
Adapun peninggalan-peninggalan masa
sahabat yang ada hubungannyadengan fiqih ialah:
1. Penjelasan-penjelasan yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum al-qur’an
dan as-sunah. Penjelasan-penjelasan yang demikian iti terjadi, ialah ketika
sahabat membahas nash-nash hukum untuk di terapkan kepada kejadian-kejadian
lalu timbul pendapat-pendapat tentang pengertian dan maksud sebenarnya dari
nash-nash. Dalam melahirkan pendapat-pendapat itu mereka bersandar pada bakat
serta kemampuan mereka dalam bidang bahasa , pada bakat serta kemampuan mereka
dalam penetapan hukum dan pada pengetahuan mereka, tentang hikmah diturunkannya
syari’at serta sebab –sebab turunnya al;qur’andan di datangkannya al-hadits.
Dari kumpulan pendapat-pendapat itu
terbentuklah syarah yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum, yang syarah
itu dianggap sebagai landasan terpercaya dalam menafsirkan nash-nash tersebut
dan untuk menjelaskan keumumannya dan nash serta cara-cara penerapannya.
- Fatwa-fatwa hasil ijtihad yang di berikan oleh
tokoh-tokoh sahabat, terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya.
Cara mujtahid dikalangan sahabat itu apabila tidak mendapatkan nash dalam
al-qur’an atau as-sunah tentang hukum sesuatu kejadian yang diajukan.
Mereka berijtihad untuk menemukan hukum dengan berbagai jalan istinbath.
v Contoh contoh ijtihad yang
dilakukan pada masa sahabat:
Diantara beberapa contoh ijtihad
yang dilakukan oleh sahabat, antara lain:
- Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat
Diriwayatkan, Abu Bakar sebagai
Khalifah pernah memerangi orang yang menolak membayar zakat. Umar bin
al-Khattab menegurnya dengan berkata, “ Saya pernah disuruh Rasulullah
memerangi orang sampai mereka mengucap la ilaha illa Allah. Kalau mereka
sudah mengucapkannya, Allah menjaga harta dan darahnya, kecuali dengan
“hak”nya. Semua urusan ditangan Allah”. Abu bakar menyahut, “ Demi Allah,
sungguh saya akan memerangi siapa saja yang membedakan sholat dengan zakat.
Sebab zakat termasuk “hak”nya atas harta.
- Ahli waris
Pada zaman Umar Bin Khattab terdapat
serombongan ahli waris yang terdiri dari suami(1/2) ibu(1,6) dan tiga orang
saudara seibu semuanya sesuai dngan ketentuan Al Qur’an. Kebetulan dalam
rombongan itu ada pula saudara laki-laki kandung yang berdasarkan hadits nabi
adalah “ahli waris sisa harta”. Karena harta sudah terbagi habis maka saudara
kandung tidak dapat bagian apa-apa. Tidak dapatnya saudara kandung, sedangkan
saudara seibu mendapat, tentu tidak enak dirasakannya. Dalam hal ini umar menetapkan
bahwa saudara kandung bergabung dengan saudara seibu dalam mengambil hak 1/3
harta yaitu hak saudara seibu. Hak istri atas peninggalan mendiang suaminya
dijelaskan secara pasti dalam Al Qur’an Surat An Nisa 12 yaitu ¼ bila suami
tidak meninggalkan anak dan 1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak
mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati istri sudah di cerai terlebih
dahulu.
- Hukuman diyat karena pengampunan salah seorang Wali
Ketika haji wada’ Nabi menyuruh
pilih keluarga korban, qishas atau denda bagi pembunuh (pembunuh disengaja).
Ini sesuai firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 17:
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih”
- Pernikahan seorang wanita yang sedang dalam ‘iddah
Tentang kasus semacam ini terdapat
dalam sunnah maupun Alqur’an. Ali ra. dalam menjawab masalah ini berpegang pada
prinsip umum, tidak ada “larangan abadi”. Maka, cukuplah diberi hukuman
fisik dan perceraian, serta “iddah ganda”. Sementara Umar ra. dalam mengambil
sikap keras itu karena menutup pintu kesalahan yang sama bagi orang lain.
Tentang iddah wanita yang kematian
suami disebutkan oleh Allah secara pasti dalam Surat Al-Baqarah ayat 234 yaitu
4 bulan 10 hari:
“Orang-orang yang meninggal dunia
di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila
telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.
0 Response to "Periodesasi Fiqh pada Masa Sahabat (Khulafaur Rasyidin)"
Post a Comment