PERIODESASI FIQH PADA MASA
RASULULLAH
Fase ini bermula saat Allah SWT
mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa Al-quran ketika baginda sedang
berada dalam Gua Hira pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum
hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. wahyu terus turun pada baginda Rasulullah
di Makah selama 13 tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah.
Terkadang wahyu turun kepada Nabi
dalam bentuk Al-Quran yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, dan
terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Nabi atau
yang kemudian termanifestasi dalam bentuk hadits. Dengan dua pusaka inilah
perundang-undangan islam ditetapkan dan ditentukan.Atas dasar ini, fiqh pada
masa ini mengalami dua periodesasi:
A. Periode Mekah
Periode ini terhitung sejak
diangkatnya baginda Rasulullah sebagai Rasul samapai beliau hijrah ke Madinah.
Periode ini berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam atau
Fiqh pada periode ini lebih terfokuskan pada upaya mempersiapkan masyarakat
agar dapat menerima hukum-hukum agama, membersihkan aqidah dari meyembah
berhala kepada menyembah Allah.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode
ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia atas dua
perkara utama:
- Mengokohkan aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar
iman kepada Allah, dan bukan untuk yang lain, beriman kepada malaikat,
kitab-kitab, Rasul,takdir Allah dan hari akhir.
- Membentuk akhlak manusia agar memiliki sifat yang mulia
dan menjauhkan dari sifat yang tercela.
B. Periode Madinah
Periode ini berlangsung sejak
hijrah Rasulullah dari mekkah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama
10 tahun.Pada periode ini fiqh lebih menitikberatkan pada aspek hukum-hukum
praktikal dan dakwah islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan
akhlak. Oleh sebab itu perlu adanya perundang-undangan yang mengatur tentang kondisi
masyarakat dari tiap aspek, satu persatu ia turun sebagai jawaban terhadap
semua permasalahan, kesempatan, dan perkembangan.
Dalam masa inilah umat islam
berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Sehingga
timbullah keperluasan untuk mengadakan syari’at dan peraturan-peraturan,
karena masyarakat membutuhkannya untuk mengatur perhubungan antara
anggota masyarakat satu dengan lainnya, baik dalam masa damai ataupun
dalam masa perang.
Pada periode Madinah inilah turun
ayat-ayat menerangkan hukum-hukum syar’iyah dari semua persoalan yang dihadapi
manusia, baik ibadat seperti salat, zakat, puasa, haji, dan muamalat seperti
aturan jual-beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas hingga persoalan-persoalan
ketata negaraan.
Dengan kata lain, periode Madinah dapat pula disebut periode
revolusi social dan politik. Rekontruksisosial ini ditandai dengan penataan
pranata-pranata kehidupan masyarakat Madinah yang layak dan dilanjutkan dengan
praktek-praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi saw, sehinngga
menampilkan islam sebagai suatu kekuatan politik.
Karena itulah surat-surat Madaniyah,
seperti surat-surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-Anfal,
At-Taubah, An-Nur, Al-Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping
megandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah, dll.
Dalam proses perkembangan periode
Madinah ini ada tiga aspek syaria’at yang perlu dijelaskan. Pertama metode
Nabis.a.w, kedua kerangka hukum syari’at. Ketiga turunnya syari’at secara
bertahap (periodik). Adapun aspek pertama yaitu metode Nabis.a.w dalam
menerangkan hukum, Nabi sendiri tidak banyak menerangkan apakah perbuatannya
itu wajib atau sunnah, sebagaimana syarat dan rukunnya dan lain
sebagainya. Misalnya ketika Nabi salat dan para sahabat melihat serta menirukannya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
Kedua, kerangka hukum syariat. Ada
hukum yang disyari’atkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat,
seperti bolehkah menggauli istri yang sedang udzur (haid). Ada juga hukum yang
disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada
kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, seperti masalah ibadah dan
hal-hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga, turunnya syari’at secara
bertahap (periodik). Dalam tahap periodic ini syari’at terbagi dalam dua hal,
yaitu tahpan dalam menetapkan kesatuan hukum islam, seperti salat disyari’atkan
pada malam isra’ mi’roj (satu tahun sebelum hijrah), adzan pada tahun pertama
hijrah dan seterusnya. Yang kedua, tahapan itu tidak sedikit terjadi pada
satu perbuatan.Misalnya, salat awalnya diwajibkan dua rakaat saja, kemudian
setelah hijrah keMadinah empat rakaat, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim bahwa A’isyah berkata : ”Salat diwajibkan dua rakaat,
kemudian Nabi hijrah maka menjadi empat rakaat”
C. Sumber Hukum Pada Periode
Rasulullah
Dalam kitab at-Tasyri’ wal Fiqhi Fil
Islam Tarikhon wa Manhajan karangan Manna’ al-Qatthan disebutkan bahwa, sumber
Tasyri’ itu ada dua macam yaitu: Tasyri’ yang merupakan wahyu Allah secara
ma’na dan lafadz, yang disebut Al-Quran ada juga Tasyri’ yang merupakan wahyu
Allah secara ma’na bukan lafadz, yang disebut As-Sunnah.
v Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada
Rasulullah tidaklah sekaligus, turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa dan
kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan fatwa.Contoh kasus
seperti : Larangan menikahi wanita musyrik. Peristiwanya berkenaan
dengan Martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi
wanita musyrikah, maka turun ayat :
”Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita Musyrik sebelum mereka beriman”. (Qs.Al-Baqarah : 221)
Pada dasaranya hukum-hukum dalam
Al-Qur’an bersifat kulli (umum), demikian pula dalalahnya
(penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu jelas
dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhâni
yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran. Bidang hukum yang lebih
terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah
tentang bidang al-Ahwal
Asyakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan dan warisan.
v As-Sunnah
As-Sunnah berfungsi menjelaskan
hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti shalat dijelaskan
cara-caranya dalam Al-Sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi
hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadist yang memberi
hukum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum
ini sering dinyatakan dalam perbuatan Rasulullah sendiri, atau dalam
keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus,
atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya, bahkan bisa
terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang
secara tidak langsung menunjukkan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut.
Hal ini sesuai dengan ayat :
”Dan Kami turunkan kepadamu
Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka”. (Qs.An-Nahl : 44)
Rasulullah apabila dihadapkan kepada
peristiwa-peristiwa yang membutuhkan penetapan hukum, beliau menunggu wahyu.
Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad
denganberpegangkepadasyari’atajaran Islam dan dengan cara musyawarah bersama
sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya salah, maka diperingatkan oleh
Allah bahwa ijtihadnya itu salah. Seperti ditunjukkan yang benarnya dengan
diturunkannya wahyu. Seperti dalam kasus tawanan perang Badar (Qs. Al-Anfal: 67)
dan kasus pemberian izin kepada orang yang tidak turut perang Tabuk (Qs.
At-Taubah : 42-43). Apabila tidak diperingatkan oleh Allah, maka berarti
ijtihadnya itu benar. Dari sisi ini jelas bahwa hadist-hadist qath’i yang
berkaitan dengan hukum itu bisa dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.
v Ijtihad Pada Masa
Rasulullah
Pada zaman Rasulullah-pun ternyata
Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat,
bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti
terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan
juga dari kasus Muadz bin Jabal yang diutus ke Yunan. Hanya saja Ijtihad pada
zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah, karena banyak
masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan
diselesaikan oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu Ijtihad para sahabat pun
apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar.
Seperti dalam
kasus Ijtihad Amar bin Yasir yang berjunub (hadast besar) yang kemudian
berguling-guling dipasir untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah,
kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air
cukup dengan tayamum.Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat
untuk berijtihad memberikan hikmah yang besar karena : ”Memberikan contoh
bagaimana cara beristinbat (penetapan hukum) dan memberi latihan kepada para
sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para
ahli hukum Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya
bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada
prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah”.
Dapat disimpulkan, pada zaman
Rasulullah, sumber hukum itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keduanya
diwariskan kepada generasi sesudahnya, dalam Hadist dinyatakan : ”Aku
tinggalkan padamu dua hal, kamu tidak akan sesat apabila berpedoman kepada
keduannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
0 Response to "Periodesasi Fiqh pada Masa Rasulullah"
Post a Comment