Macam - macam Istinbath Lafdzi


Macam-macam Istinbath Lafdzi:

1.       Khash

Dalam mendefinisikan kata khash para Ulama’ Ushul berbeda pendapat. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut memiliki pengertian yang sama. Hukum Lafadz Khash. Suatu lafadz dalam nash hukum syara’ yang menunjukan suatu lafadz tertentu adalah qath’i bukan dhanny, selama tidak ada dalil-dalil lain yang mengubah maknanya. 

Oleh karena itu, apabila lafadz khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun maka lafadz itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. 

Dan bila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkan pada makna yang lain. 

Demikian juga apabila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahi), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah atau indikasi yang memalingkan dari hal itu.

Hasil gambar untuk istinbath lafdzi

2.       ’Amm

Lafadz ’Amm adalah suatu lafadz yang menunjukan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu (global). Tidak ada perbedaan dalam pengertian ’amm tersebut apakah dinyatakan dengan lafadz plural (jamak) atau singular (tunggal). 

Para Ulama’ Ushul memberikan definisi ’amm salah satunya adalah menurut ulama’ Syafi’iyah, yang berpendapat bahwa ’amm adalah : ”satu lafadz yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.” Hukum berhujjah dengan ’Amm: Jumhur Ulama’ Ushul berpendapat bahwa dalalah menunjukan seluruh satuannya secar dzanniyah, karena apa yang terkandung didalam lafadz ’amm itu kebanyakan yang dikehendaki adalah beberapa atau sebagian dari satuan-satuannya saja. 
Karena itu dikalangan ulama’ terkenal adanya kaidah :
”tidak ada satupun dari yang umum melainkan ia di takhsiskan (dibatasi).” Jadi, tidak diperkenankan langsung berhujjah dengan dalil ’amm dalam menetapkan hukum. Karena itu para mujtahid diwajibkan meneliti lebih dahulu apakah ada pen-takhsis-nya atau tidak.

Hasil gambar untuk istinbath lafdzi

3.       Amr (perintah)

Definisi amr menurut Jumhur Ulama’ adalah suatu permintaan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Bentuk Amr dan hakikatnya. 

Menurut Jumhur Ulama’, amr secara hakikat menunjukan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti lain. Kecuali bila ada qarinah. Pendapat ini dipegang oleh al-hamidi, As-Syafi’i, para Fuqaha, kaum mutakallimin, seperti Al-Husein Al-Basari dan Al-Juba’i. 

Golongan kedua, yaitu mazhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama’ mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah menyatakan bahwa hakikat amr adalah nadb (Sunnah).

Golongan ketiga berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan nadb, pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi. Pendapat keempat, Qadi Abu Bakr, Al-Gazali, dan lain-lain, menyatakan bahwa amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunujukan maksudnya.
·       
                   Perintah sesudah larangan. Ada perbedaan pendapat ulama’ tentang dalalah amr sesudah nahi. Ada yang mengatakan bahwa amr itu tetap wajib dikerjakan walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat. Namun demikian yang masyhur dikalangan ulama’ Ushul ialah amr sesudah nahi adalah Ibadah (Kebolehan)
·       
      Perintah dan waktu mengerjakannya
Lafadz amr baik dalam Al-qur’an maupun al-Hadis pada hakikatnya adalah untuk mengerjakan apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dilaksanakan dalam waktu yang cepat ataupun ditangguhkan. Semuanya itu dapat dipahami dengan adanya qarinah-qarinah (argumen) lain.

Hasil gambar untuk istinbath lafdzi

4.       Nahi (larangan)

Definisi nahi adalah kebalikan dari amr yaitu lafadz yang menunjukan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Makna Sighat Nahi :
a.     Menurut Jumhur Ulama, pada dasarnya adalah menunjukan kepada tahrim, seperti firman Allah SWT yang artinya : ”janganlah kamu mendekati zina”. (al-Isra’: 32) Dari pernyataan diatas dapat disimpulakan bahwa, pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang dilarang)

b.     Pendapat kedua, menyatakan bahwa pada dasarnya nahyi itu menunjukan pada karahah saja. Mereka memiliki kaidah, pada dasarnya nahi itu menunujukan kepada karahah (perbuatan yang dibenci). Alasan mereka larangan itu karena buruknya perbuatan yang dilarang dan tidak mesti harus haram. Diantara yang haram dan yang makruh, yang paling diyakini adalah yang makruh bukan yang haram, apalagi pada dasarnya segala perbuatan itu adalah boleh dikerjakan.

Hasil gambar untuk istinbath lafdzi

5.       Muthlaq dan Muqayyad

Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Sedangkan Muqayyad adalah suatu lafadz yang menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinnya. Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad :
·       Suatu lafadz dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan Muqayyad, keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
·       
                      Lafadz mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
·       
               Lafadz mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya
·    

                          Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama. Mutlaq dan muqyyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya. Hukum lafadz mutlaq dan muqayyad: Lafadz mutlaq dan muqayad, masing-masing menunjukan kepada makna yang qath’i dalalah-nya. Karena itu apabila lafadz tersebut mutlaq maka harus diamalkan sesuai dengan muthlaq-nya. Dan apabila lafadz itu muqayyad, maka harus diamalkan sesuai dengan muqayyad-nya. Yang demikian itu berlaku selama belum ada dalil yang memalingkan artinya dari muthlaq ke muqayyad dan dari muqayyad ke mutlaq.

0 Response to "Macam - macam Istinbath Lafdzi"

Post a Comment

Popular Posts