Peran Akal dalam Keimanan


Peranan Akal Dalam Masalah Keimanan

Hasil gambar untuk akal dan keimanan

Al-Qur'an melarang seseorang untuk beriman tanpa proses berpikir (taqlid buta). Islam mencela orang yang beriman karena sebatas mengikuti orang tua atau nenek moyang mereka.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah’. Mereka berkata: ‘Tidak, kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek-nenek moyang kami’. (Ataukah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk ?” (QS. Al-Baqarah: 170)

 

Oleh karena itu, masalah keimanan haruslah dibangun berdasarkan sesuatu yang dipastikan kebenarannya, tidak menduga-duga yang sifatnya dzanni (tidak pasti). Al-Qur'an telah menghinakan kaum musyrik karena mereka hanya mengikuti prasangka. Hanya saja perlu kita ingat, bahwa akal manusia hanya mampu membuktikan sesuatu yang berada di dalam jangkauan akal. Adapun yang di luar jangkauan akal, harus ada sesuatu sebagai perantara (wasilah) yang merupakan petunjuk atas hal-hal yang tak bisa dijangkau tadi.

Seperti perkataan seorang Badui (orang awam) tatkala ditanyakan kepadanya: “Dengan apa engkau mengenal Robbmu?” Jawabnya: “Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan ada orang yang berjalan”.


Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an mengajak manusia untuk membuktikan keberadaan (eksistensi) Allah dengan berpikir melihat alam semesta. Karena keterbatasan akal dalam berpikir, Islam melarang manusia untuk memikirkan tentang dzat Allah. Sebab manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga) menyerupakan Allah dengan suatu makhluk. Berkaitan dengan hal ini Rasullah SAW bersabda:

“Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang Allah, sebab kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya sebenarnya. (Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Nu’im dalam kitab Al-Hidayah; sifatnya marfu, sanadnya dlaif tetapi isinya shahih)



Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang sebenarnya. Sebagai contoh mengkhayalkan bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya. Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisis. Ia tak dapat dianalogikan (qiyas) pada materi apapun.

Inilah jalan yang ditempuh para sahabat, tabi’in dan ulama salaf, mereka tidak pernah menakwilkan ayat-ayat yang memang tidak mampu dijangkau oleh akal. Imam Ibn Al-Qayyim berkata: Para Sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka adalah umat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka tidak menakwilkannnya, juga mereka tidak memalingkan pengertiannya.” (I’laamul Muraaqin)

Ketika Imam Malik ditanya tentang makna ‘persemayaman-Nya (Istiwaa)’ beliau lama tertunduk bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata: “Persemayaman itu bukan sesuatu yang tidak diketahui. Juga, kaifiyat (caranya) bukanlah hal yang dapat dipahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid’ah.” (Fath Al-Baari)

Di sisi lain, banyak manusia yang mendasarkan keimanannya pada sesuatu hanya berdasarkan dugaan yang tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat. Seperti menyebutkan Tuhan itu tiga, akan terjadi reinkarnasi setelah kematian, atau menyebut tidak ada hari kebangkitan. Sebagian manusia lagi mendasarkan keimanannya hanya pada perasaan (wijdan), walaupun itu fitrah di dalam diri manusia, tapi tanpa didukung dengan pembuktian akal. Bila keimanan hanya berdasarkan perasaan, yang terjadi pada manusia adalah kecenderungan untuk mengkhayalkan apa yang diimani dan mencari sendiri cara untuk menyembahnya. Maka muncullah penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong), syirik, atau ajaran kebatinan.

Islam sebagai satu-satunya diin yang kita yakini kebenarannya tentu tidak demikian. Islam adalah diin yang bisa dibuktikan kebenarannya dengan akal sehat, sesuai dengan fitrah manusia dan menentramkan hati.



Konsekuensi Keimanan Kita

Hasil gambar untuk konsekuensi keimanan 

Sebagaimana kita ketahui, iman kepada Allah SWT harus datang dari pemahaman akal. Keimanan inilah yang menjadi dasar kuat bagi kita untuk beriman kepada hal-hal yang ghaib dan segala apa yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab, apabila kita telah beriman kepada-Nya maka konsekuensinya kita wajib pula beriman terhadap apa-apa yang dikabarkan-Nya melalui Rasul-Nya.

Begitulah aqidah seorang muslim yang menggunakan akal. Kalaupun dia harus mempercayai dalil-dalil naqli (kutipan), maka dalil-dalil yang diterimanya itu harus qath’i (pasti). Untuk mengetahui apakah suatu dalil pasti atau tidak, juga harus memakai akal dalam memilah dan memilihnya. Sebab, tidak ada taqlid dalam masalah aqidah. Oleh karena itu, Aqidah Islamiyah disebut Aqidah Aqliyah, artinya aqidah yang dapat diterima oleh akal.

Setelah seorang muslim beriman kepada apa-apa yang telah dijelaskan di atas, ia pun wajib menerima seluruh Syariat Islam sebagai pengatur bagi kehidupannya. Sebab, syariat itu datang dari Allah SWT melalui Rasul-Nya, baik yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Penerimaan terhadap hal tersebut harus utuh dan bulat, tidak boleh hanya sebagian-sebagian. Tidak boleh dipilah-pilah dalam menerima hukum-hukum Allah. Semuanya harus diterima dan diimani dengan sepenuh hati.
Jadi penolakan terhadap ayat:
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ...
“Tegakkanlah shalat...!” (QS. Al-Baqarah: 110)
sama saja dengan penolakan terhadap ayat:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا...
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya...”
(QS. Al-Maidah: 38)

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ ...
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah...” (QS. Al-Maidah: 3)


Dan penerimaan terhadap Syariat Islam tidak boleh berhenti pada akal saja, dalam arti hanya sebatas kepada pengetahuan. Akan tetapi, harus terdapat penyerahan mutlak dan totalitas terhadap segala peraturan yang datang dari Allah SWT.

Related Posts :

0 Response to "Peran Akal dalam Keimanan"

Post a Comment

Popular Posts