A. PERANG PADRI
Perang
Padri adalah
peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di
kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan
peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum
berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang
Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki
sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh
kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan
sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam,
penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat
matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual
formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah
memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum
Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga
tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh
Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan
Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak,
meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini
justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan
Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini
dapat dimenangkan Belanda.
Perang
Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras
harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan
Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat
sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.
1.
Latar
belakang
Perang
Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar
tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin
memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat
Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu
ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain
di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau
untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum
Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum
Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung
bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku
Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah.
Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan
melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah
mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati
sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.
2.
Keterlibatan
Belanda
Karena terdesak Kaum Adat yang
dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada
tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu
itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan
Pagaruyung.Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda
penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian
mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar. Keterlibatan
Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda
dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh
pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah
Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan
pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada
kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan
Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum
Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di
Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun
kekuatan dan bertahan di Lintau.[ Pada tanggal 10 Juni 1822
pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun
pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822
dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian
meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan
Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan
Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan
pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri
dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda
terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung
Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel
Raaff, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau
ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri
meninggal dunia di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya
mengalami demam tinggi. Sementara pada
bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin
telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo
dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun
karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal
dunia di Padang.
3.
Genjatan
Senjata
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup
tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab
itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang
waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
“Perjanjian Masang” pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena
disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi
peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol
mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat.
Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama “Plakat Puncak
Pato” di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus
bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang
artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam
berlandaskan kepada Al-Qur’an.
Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab
muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh
Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.[15] Kemudian menjadi
pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana
yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga
melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.
4.
Peperangan
Jilid Kedua
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya
kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk
menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk
penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek).
Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk
andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang
dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau
dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai
timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda
melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari
Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan
senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng
di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil
ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun
Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah.
Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum
Padri antara tahun 1831-1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot
Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah
membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai perang di
Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang
ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen
resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan
dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau
Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda
terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan
mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan
dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan.
Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara
Belanda.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan
infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P.
Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan
pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam
kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum
Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan
Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang
pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan
luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran
pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari
1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun
sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh
Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di
pihak Belanda. Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari
1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia
dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal,
Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh
tentara Belanda.
5.
Perlawanan
Bersama
Sejak tahun 1833 mulai muncul
kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[20] Diujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun
pertama perang ini (1803-1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara
melibatkan sesama etnik Minang dan Batak. Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa
kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan
menjadi kacau,[21] disebutkan ada sekitar 139 orang tentara
Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang
sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar,
ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di
Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke
Jakarta, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal
keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah
Hindia-Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para
perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan
kepada Tuan Gadang di Batipuh.
Menyadari hal itu, kini Belanda
bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat
Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan
pengumuman yang disebut “Plakat Panjang” berisi sebuah pernyataan bahwa
kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri
tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk
Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula
diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga
keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka
penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda
.
6.
Serangan
ke Bonjol
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833
pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan
oleh pasukan Belanda.[22] Sesampainya di Padang, ia melakukan
perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan
Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando
pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik
untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan
penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang
pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera
menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir
tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada
tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri
kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol,
bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan
Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda
hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya.
Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat
laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk
konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada
pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan
tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya
dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha
menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu
pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk
kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan
sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda
dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi
dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti
menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk
menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna
membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini
telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan
berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang,
daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah
pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran
berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di
kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan
Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya
daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini
dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju
Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol
masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati
daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan
Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum
Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah
ini.
Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda
kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu
pertahanan disana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak
kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian
mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser,
mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri
tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga
dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan
tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di
Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan
Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit
Tajadi.
7.
Pengepungan
Bonjol
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda
mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan
suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini
ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan
bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara
gerilya. Disaat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari
daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari negeri di Minangkabau
dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar sampai
titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol
baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan
Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan
terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan
pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu
persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit
Tajadi.[27]Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum
berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum
Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan
kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan
tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba
menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal,
bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer,
salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke
Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri,
membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan
menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat
Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan
Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah
datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda,
perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3
Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran
terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol.
Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan
Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku
Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri
kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan
terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban
jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul
kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yang waktu itu telah
dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837
mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius
untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian
kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda
yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala
jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) dipimpin oleh
jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari
berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira
Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk
didalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan
pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda
tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor
Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan
Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama pribumi seperti Kapitein
Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo,
Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan
tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di
Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang
berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1
sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein
Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan
hujan peluru dari pasukan artileri selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta
pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus
1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan
mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal
15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng
Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat
mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa
pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
8.
Perundingan
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam
Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang
telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur
melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal
dan masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat
tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian
Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan
itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar
bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk
datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma
jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di
bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung
dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya
diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan
pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal
19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, dan di
daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada
tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menemui ajalnya.
9.
Akhir
Peperangan
Meskipun pada tahun 1837 Benteng
Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap,
tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum
Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[30] Jatuhnya benteng
tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah
ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap
selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax
Neerlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah
berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
10. Warisan Sejarah
Pengaruh dari peperangan ini
menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang
terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun
sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.Kemudian sejak tahun 1913,
beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan
sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan
Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan
dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol. Perjuangan
beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian
menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
B. HIKMAH
Dalam menghadapi
perbedaan kita hendaknta tidak memaksakan kehendak. Kita harus mampu membuka
diri akan suatu ilmu tentang kebenaran. Tidak boleh pantang menyarah dalam
membela kebenaran berjihad di jalan Allah SWT tanpa memandang apapun, mereka
mampu berperang dalam waktu lama, mengorbankan harta, bahkan jiwa mereka dalam
membela jalan Allah.
Hendaklah kita besatu
membela kebenaran dengan semua kekurangan yang ada. Jangan bersatu untuk
menentang perintah Allah.
Kita harus selalu berusaha dengan gigih, saling
membantu dan bekerja sama dengan orang lain meski banyak rintangan, adat, dan
agama itu tidak saling menghancurkan, tapi dengan berdampingan satu sama lain
dan tiap-tiap golongan tidak boleh pecah hanya karena telah di adu domba serta
setiap golongan harus tetap bersatu.
Jadi, janganlah sampai kesadaran mengenai
persaudaraan dan kesatuan timbul setelah pecah pertikaian fisik yang tak
berkesudahan yang banyak menelan korban dan menghabiskan banyak sumber daya
ekonomi maupun sosial layaknya Perang Padri.
C. SUMBER
Mawarti J. Poesponegoro. 1984.Sejarah Nasional
Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Rickleft.1999. Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Kardiyat Wiharyanto. 2006.Sejarah Indonesia Madya Abad
XIV-XIX. Yogyakarta: Universitas Santana Dharma,
0 Response to "Perang Padri"
Post a Comment