Perkara yang Diduga
Sebagai Dalil Padahal Bukan Dalil
Istidlal menurut
bahasa berasal dari wazan istaf'ala dari
lafadz dalla yang berarti mencari dalil, atau jalan yang mengantarkan
pada perkara yang dicari.
Perkara yang diduga
sebagai dalil padahal bukan dalil ada empat macam, yaitu: syari'at umat
terdahulu (syar'un man qablana), pendapat sahabat (madzhab sahabat), istihsan,
dan mashalih mursalah.
1. Syari'at umat terdahulu
Sebenarnya syari'at umat terdahulu (umat nabi-nabi
sebelum nabi Muhammad SAW) bukan termasuk syari'at bagi kita (umat nabi
Muhammad saw), dan bukan tergolong ujjah (dalil) bagi kita. Allah berfirman
yang artinya.
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا
لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
"Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur'an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) atau batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain." (QS.
Al-Maidah: 48)
arti dari wamuhaimina 'alaih adalah nasikhon lima sabiqohu yaitu penghapus kitab-kitab
sebelumnya. Oleh karena itu kita tidak diseru untuk melaksanakan syari'at
sebelum kita. Kita diseru hanya untuk melaksanakan syari'at Islam yang dibawa
oeh nabi Muhammad SAW.
2. Madzhab Sahabat
Madzhab sahabat sebenarnya bukan merupakan dalil syara'.
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
"Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikan ia kepada Allah (al-Qur'an)
dan rasul (sunnahnya)" (QS. An-Nisa: 59).
Dalam ayat ini Allah SWT
telah mewajibkan untuk mengembalikan seluruh perkara yang perselisihkan kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Begitu juga para sahabat
telah sepakat atas kebolehan menyelisihi sahabat secara perorangan. Andaikata
pendapat seorang sahabat merupakan hujjah maka pasti setiap sahabat wajib
mengikuti pendapat sahabat yang lainnya. Tetapi hal seperti ini tidak mungkin
terjadi.
3. Istihsan
Secara bahasa istihsan
mengikuti wazan istaf'ala dari kata al-hasan yang memandang baik
suatu perkara. Lawannya disebut al-istiqbah artinya memandang buruk
suatu perkara.
Secara istilah istihsan
diartikan dengan dalil cacat pada benak seorang mujahid, dan tidak kuasa untuk
menampakkannya karena tidak ada dukungan al-ibarah (redaksi) untuk
mengungkapkannya.
Sebagian ulama
mendefinisikannya dengan 'beralih dari konsekwensi suatu Qiyas kepada Qiyas
lain. yang lebih kuat. Mereka juga menganggap termasuk bagian dari istihsan
adalah beralih dari Qiyas kepada nash, baik al-Kitab, as-Sunnah maupun adat. Begitu
pula yang termasuk istihsan adalah mengalihkan suatu alasan dari suatau
tentang masalah-masalah yang sejenis kepada hukum lain karena adanya aspek yang
lebih kuat yang mengharuskan peralihan tersebut.
Contohnya adalah firman
Allah SWT:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ
كَامِلَيْنِ
"Para ibu hendaknya
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang menyempurnakan
penyusuan". (QS. Al-Baqarah: 233).
Apabila istihsan
merupakan peralihan dari suatu dalil tanpa ada dalil yang mengharuskan maka
sebenarnya istihsan bukan merupakan dalil. Karena Allah SWT berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
" Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang suatu
perkara maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasulnya." (QS. An-Nisa:
59).
4. Mashalih al-Mursalah
Mereka memberikan contoh
dengan kasus, jika ada orang yang mendakwa orang lain bahwa dia mempunyai harta
pada orang tersebut, sementara tidak mampu mendatangkan bukti atas dakwaannya,
kemudian terdakwa dituntut untuk bersumpah berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
yang artinya:
"Bukti atas penuntut/pendakwa
dan sumpah atas orang yang mengingkarinya (terdakwa)."
(HR. Tirmidzi)
Mereka tidak mewajibkan
sumpah pada terdakwa kecuali jika antara terdakwa dan pendakwa terdapat suatu
hubungan. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang bodoh tidak berai (lancing)
kepada kalangan terhormat sehingga akan menyerahkan mereka kaum terhormat
kepengadilan dengan dakwaan-dakwaan dusta.
Berdasarkan definisi
diatas, jelas sekali bahwa sebenarnya mashahih mursalah bukan termasuk
dalil. Menggunakan menyalahi nash adalah tindakan batil, berdasarkan dalil
berikut :
1. Firman
Allah SWT:
َمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ
إِلَى اللَّهِ
"Tentang
sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. ".
(QS. Asy-Syura:10)
فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
"Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan rasulnya." (QS. An-Nisa: 59)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
"Pada
hari ini telah kusempurnakan agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu."
(QS. Al-Maidah:
3)
أَيَحْسَبُ
الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى
"Apakah
manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung
jawaban)?"
(QS. Al-Qiyamah:36).
2. Kemaslahatan
yang sebenarnya adalah kemaslahatan berdasarkan dalil syara' dimana ada
perintah syara' disitu ada kemaslahatan. Sedangkan istilah menghukumi
berdasarkan mashalih mursalah adalah menghukumi yang didasarkan pada
mashlahat yang tidak ditetapkan oleh syara'. Oleh karena mashalih mursalah bukan
tergolong hujjah.
3. Membangun
suatu hukum atas dasar kemaslahatan yang tidak diakui oleh syara' berari
menjadikan akal yang tidak didukung oleh
dalil sebagai hakim (al-'aql al-mujarrod). Sebagai hakim, ini tidak
diperbolehkan.
0 Response to "Perkara yg Diduga Dalil Padahal BUKAN Dalil"
Post a Comment