Pengertian, Ruang Lingkup, Serta Metode Ijtihad

 

Pengertian Ijtihad

الإِجْتِهَادُ هُوَ إِسْتِفْرَاغُ الوُسْعِ فِي نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِطَرِيقِ الإِسْتِنْبَاطِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara’ dengan cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung) pada Alquran dan sunah.

Hasil gambar untuk ijtihad

Orang-orang yang mampu berijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapat dipertanggungjawabkan, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain; (a) bersifat adil dan takwa, (b) menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya, ilmu tafsir, ushul fiqih, dan ‘ulumul hadits. Ilmu-ilmu tersebut diperlukan untuk meneliti dan memahami makna-makna lafal dan maksud-maksud ungkapan dalam Alquran dan sunah.

Ruang Lingkup ijtihad

Permasalahan yang dapat diijtihadi ialah
a) masalah-masalah yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyatul wurud (kemunculannya perlu penelitian lebih lanjut) dan zhanniyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya tidak jelas dan tegas).
b) masalah-masalah yang tidak ada nashnya sama sekali.

Hasil gambar untuk ijtihad

Sedangkan bagi masalah yang telah ditetapkan oleh dalil sharih (jelas dan tegas) yang qat’iyyatud wurud (kemunculannya tidak perlu penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud dilalah  (makna dan ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka tidak ada jalan untuk diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash tersebut. Misalnya jumlah hukum cambuk seratus kali dalam firman Allah

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Perempuan dan laki-laki yang berzina cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali. Q.s. An-Nur:2


Metode-metode Ijtihad dan Perangkatnya

Dalam mengistinbath hukum, seorang mujtahid harus dilandasi dengan pengetahuan tentang qawaid lughawiyyah (kaidah-kaidah bahasa), maqashidu tasyri’iyyah (tujuan umum perundang-undangan), serta cara-cara menuntaskan ta’arudul adillah (dalil-dalil yang nampak bertentangan).
Qawaid al-lughawiyyah al-ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fikih yang dipetik dari bahasa).

Hasil gambar untuk metode ijtihad

Nash-nash Alquran dan Sunah adalah berbahasa Arab. Untuk memahami hukum-hukum dari kedua nash tersebut secara sempurna lagi benar, haruslah memperhatikan uslub-uslub (gaya bahasa) bahasa Arab dan kaifiyat dilalah (cara penunjukkan) lafal nash itu kepada artinya. Karena itu, para ahli ushul fikih mengarahkan penelitian mereka terhadap uslub-uslub dan ibarah-ibarah bahasa Arab yang lazim dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan Arab dalam menggubah sya’ir dan prosa.  

Dari penelitian ini mereka menyusun kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash Alquran dan Sunah secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab sendiri. Kaidah-kaidah tersebut kemudian dikenal dengan istilah qawaid al-lughawiyyah al-ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fikih yang dipetik dari bahasa).

Pada umumnya ulama ushul fikih memulai pembahasan tentang maudhu’ (topik) ini dengan membicarakan makna-makna dari suatu lafal yang diciptakan untuk menyatakan makna-makna tertentu.

Ulama ushul fikih menetapkan bahwa perhubungan lafal dengan makna memiliki berbagai aspek yang harus dibahas. Mereka membagi lafal dalam hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian sebagai berikut:


Hasil gambar untuk metode ijtihad

Pertama, ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuk lafal, lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni

[1] al-Khash, yaitu lafal yang diciptakan untuk memberi pengertian satuan-satuan tertentu. Khash mencakup lafal
(a) mutlaq (yang tidak diterangkan pembatasnya), seperti lafal dam (darah) dalam Alquran, surat al-Maidah:3.
(b) muqayyad (yang diterangkan pembatasnya), seperti lafal dam masfuhan (darah yang mengalir) dalam Alquran, surat al-An’am:145.
(c) amr (lafal yang menunjukkan makna perintah), seperti lafal aqimu (dirikanlah) dalam Alquran, surat al-Baqarah:43
(d) nahyu (lafal yang menunjukkan makna larangan), seperti lafal la taqrabu (jangan mendekati) dalam Alquran, surat an-Nisa:43.
    
    [2] al-Amm, yaitu suatu lafal yang sengaja diciptakan oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna yang dapat mencakup seluruh satuan tanpa dibatasi jumlah tertentu, seperti lafal jami’an (seluruh) pada Alquran, surat al-Baqarah:29.
     
     [3] al-musytarak, yaitu lafal yang memiliki makna lebih dari satu yang berbeda-beda, seperti kata quru dalam Alquran surat al-Baqarah:228, mempunyai arti suci dan haid.

[4] al-muawwal, yaitu …..


Hasil gambar untuk metode ijtihad

Kedua, ditinjau dari segi makna yang dipergunakan untuk lafal, maka lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni
    
    [1] al-haqiqah, yaitu lafal yang digunakan untuk arti hakiki atau sebenarnya. Jika pemakaian arti itu sesuai dengan istilah bahasa dinamai haqiqah lughawiyyah, seperti lafal insan yang arti haikinya secara bahasa adalah hayawanun natiqun (binatang yang berakal). Jika pemakiannya itu sesuai dengan istilah syara’ dinamai haqiqah syari’iyyah, seperti lafal shalat yang arti hakikinya menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Jika pemakainnya itu sesuai dengan istilah adat atau kebiasaan umum disebut haqiqah ‘urfiyyah ‘ammah, seperti lafal dabbah yang dipakai untuk semua binatang yang berkaki empat.

    [2] al-majaz, yaitu lafal yang digunakan untuk arti kiasan (pinjaman, bukan sebenarnya). Sebagaimana halnya lafal haqiqi, lafal majazi terbagi pula kepada (a) majaz lughawi, seperti lafal asad (singa) yang arti majazinya adalah seorang pemberani, (b) majaz syar’i, seperti lafal la mastum dalam surat al-Maidah:6 yang arti majazinya adalah bersetubuh, dan (c) majaz ‘urfi, seperti lafal dabbah yang arti majazinya adalah  setiap binatang yang melata di atas permukaan bumi.

    [3] sharih, yaitu lafal yang jelas maksudnya karena sudah termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi maupun majazi. Seperti lafal isytara (membeli) dan ba’a (menjual) adalah lafal sharih, karena jelas sekali maksudnya.

    [4] al-kinayah, yaitu lafal yang tersembunyi maksudnya karena tidak termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi maupun majazi. Dan untuk memahaminya diperlukan qarinah (keterangan pendukung)

Hasil gambar untuk metode ijtihad

Ketiga, ditinjau dari segi kaifiyat atau cara-cara penunjukkan lafal kepada makna menurut kehendak pembicara, maka lafal itu dibagi menjadi 4 bagian, yakni
    
    [1] dilalah ibarah, yaitu petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersurat dalam nash. Disebut pula ibaratun nash.

[2] dilalah isyarah, yaitu petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersirat dalam nash.
    
    [3] dilalah ad-dilalah, yaitu penunjukkan suatu lafal bahwa hukum yang diambil dari nash yang disebutkan berlaku pula bagi perbuatan yang tidak disebutkan dalam nash, karena adanya persamaan illat antara kedua macam perbuatan tersebut. Dilalah ad-dilalah disebut pula dilalatun nash, fahwal khitab atau lahnal khitab. Sedangkan ulama syafi’iyyah menamainya mafhum muwafaqah, karena adanya persamaan hukum antara yang tidak disebutkan dengan yang disebutkan dalam nash. Misalnya kata uf dalam firman Allah
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan uf..Q.s. Al-Isra:23

Hukum yang dipahamkan dari ayat ini menurut dilalatun nash ialah larangan menyebut uf (ah) kepada kedua orang tua. Setiap ahli bahasa mengetahui bahwa ‘illat larangan tersebut ialah karena perkataan “ah” itu menyakitkan hati kedua orang tua. Karena itu pemikiran manusia berkembang kepada setiap perbuatan atau perkataan yang menyakiti hati orang tua, karena illatnya adalah sama.

    [4] dilalah iqtidha, yaitu penunjukkan lafal kepada sesuatu yang tidak disebut oleh nash. Namun pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Misalnya firman Allah
وَاسْأَلْ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
“Dan tanyalah negeri yang kami tadi berada di situ..” Q.s. Yusuf:82.
Ayat ini tidak benar maknanya apabila tidak dibubuhkan lafal ahlu (penduduk) sebelum qaryah (negeri). Dengan demikian ayat itu dapat dipahami demikian: “Dan tanyakanlah kepada penduduk negeri..”

Di samping berlandaskan qawaid lughawiyyah (kaidah-kaidah bahasa) seperti di atas, para fukaha membuat metode-metode yang dipergunakan oleh mereka dalam istinbathul ahkam. Metode-metode yang umum dipergunakan adalah qiyas, ishtihsan, al-maslahah al-mursalah, istishhab, dan ‘urf, syar’u man qablana, saddu dzari’ah, dan madzhab shahabah.


Hasil gambar untuk metode ijtihad

0 Response to "Pengertian, Ruang Lingkup, Serta Metode Ijtihad"

Post a Comment

Popular Posts