Pengembangan Penggunaan Ijtihad dan Aplikasinya
Dari mengikuti sarasehan terbatas
tentang Tafsir Tematik yang diterbitkan oleh PP Majelis Tarjih Pusat
tergeraklah penulis untuk mengungkap kembali beberapa masalah yang bertalian
dengan istilah ijtihad.
Pengembangan pemikiran penggunaan
ijtihad pada akhir-akhir ini banyak dilakukan orang. Maksudnya menggunakan
istilah ijtihad bukan sebagaimana pengertian ijtihad yang dikemukakan oleh ahli
ushul fiqih yakni terbatas pada permasalahan hukum saja. Penggunaan istilah
ijtihad berkembang dalam arti yang lebih luas berbeda dengan yang tersurat
dalam hadits yang terfokus pada masalah hukum saja.
Bagi orang yang menggunakan
istilah ijtihad dalam arti yang lebih luas itu sebenarnya tidaklah menyimpang
dari segi bahasa. Karena kata ijtihad dari segi bahasa adalah usaha yang
sungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu (makna). Kita diperintahkan memahami
ajaran Islam dari sumber pokoknya yakni al-Qur’an dengan sungguh-sungguh.
Al-Qur’an mencela terhadap orang yang tidak menggunakan fikiran dalam memahami
isi kandungan al-Qur’an, hal ini terdapat di dalam Surat an-Nisa ayat 82 dan juga surat Muhammad ayat 24.
Celaan yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 82 tersebut mengandung motivasi
bagi orang mukmin agar benar-benar memahami isi kandungan al-Qur’an dan
meyakininya bahwa al-Qur’an itu wahyu yang berasal dari Allah SwT. Sedangkan
celaan yang terdapat dalam surat Muhammad ayat 24 tersebut mengandung motivasi
agar manusia membuka hati dan fikirannya.
Penggunaan pengertian ijtihad
dalam arti yang lebih luas sesuai dengan pengertian istimbath yang tersebut
didalam ayat 83 surat an-Nisa, yakni mencakup seluruh makna kandungan al-Qur’an
dan as-Sunnah dalam aplikasinya di tengah masyarakat. Di dalam surat an-Anfal ayat 60 Allah memerintahkan
agar kaum muslimin melakukan jihad dengan fisiknya untuk menjaga kebenaraaan
agar terus berada di tengah-tengah masyarakat.
Dalam rangka menjaga kebenaran
itu kaum muslimin juga diperintahkan untuk melaksanakan kesungguhan dalam
memahami agamanya sebagai bekal memberi input para pejuang. Hal ini disebutkan
di dalam surat
at Taubah ayat 122, yang artinya: “Tidak
sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi semua (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka itu beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Dalam ayat tersebut, sebagian
kaum muslimin dianjurkan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama,
dengan kata “liya tafaqqahu fiddien”. Dari asal kata itulah diambil istilah
fiqih dalam arti yang luas. Fiqih yang berarti paham itu sekarang diartikan
dalam pengertian yang khusus yakni hukum Islam. Pada mulanya kata fiqih mencakup
pengertian aqidah, hukum-hukum yang bertalian dengan perbuatan manusia.
Sehingga fiqih itu meliputi segala aspek ajaran agama Islam (aqidah, akhlak,
dan ahkam).
Muhammad Muhtar al Qadhiy dalam
kitabnya yang bernama “Arrakyu fil Fiqhil Islami” mengomentari bahwa istilah
fiqih itu mengalami perkembangan. Pada awal Islam fiqih itu mencakup semua
paham yang bertalian dengan ajaran Islam, sesuai dengan pengertian “liyatafaqqahu
fiddien” dalam surat
at Taubah ayat 122 tersebut. Di dalam kitab “Syarhut Taudhih Alat Tabqih” yang
ditulis oleh Ubaidullah bin Mas’ud menyebutkan bahwa fiqih itu adalah paham
atau pengertian hak dan kewajiban diri yang menyangkut aqidah (seperti wajib
beriman), akhlaq seperti kehalusan budi, melakukan perbuatan yang baik dan
utama juga kewajiban untuk melakukan ibadah seperti shalat, puasa, jual beli
dengan benar dan sebagainya.
Ubaidullah mengidentifikasikan pengertian fiqih
dalam arti luas. Dan sekarang menggunakan kata ijtihad cenderung dalam
pengertian yang lebih luas. Hal ini berarti mengembalikan pengertian makna
fiqih kepada makna semula yakni faham agama dan kita dapati penggunaan kata
ijtihad untuk mengembangkan pemikiran dan memahami isi kandungan al-Qur’an yang
lebih luas.
Menurut pendapat saya,
pengembangan pemikiran terhadap arti ijtihad ini boleh saja bahkan perlu
diteruskan dalam penafsiran al-Qur’an maupun al-Hadits yang belum dituntaskan
oleh para ulama pada masa lampau. Dalam penafsiran ayat-ayat kauniyah misalnya
seperti penafsiran ayat yang berbunyi “Kunfayakun” dan proses yang disebut
sunnatullah dan juga pemahaman terhadap hadits-hadits yang bersifat temporer
dan kontekstual. Hal itu perlu dikembangkan pemikirannya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan yang akan lebih mendekatkan kebenaran yang terus
dicari oleh manusia.
Banyak ayat-ayat yang perlu
mendapat penafsiran yang lebih jelas, yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Demikian pula pemikiran tentang hadits yang dapat diartikan
temporer seperti hadits Nabi yang berarti “Kami umat yang ummi tidak dapat
menulis dan mengerti hisab”.
Demikian juga pemikiran hukum amaliyah yang
terkenal dengan nama fiqih Islam baik dalam arti luas maupun sempit. Dalam era
globalisasi dan informasi ini sangat memerlukan ijtihad yang bersifat
antisipatif, baik dengan cara intiqa’i (selektif) maupun dengan cara insya’i
(pemecahan masalah yang baru) seperti telah dipaparkan dalam rubrik ini
beberapa waktu yang lampau. Bahkan saya menggarisbawahi adanya pemikiran
tentang perlunya perumusan baru mengenai beberapa qaidah dalam masalah ibadah
yang pada prinsipnya menunggu dalil, masih berlaku.
Namun dalam implementasinya
perlu adanya perumusan baru terhadap qaidah dalam ibadah yang bersifat
ijtima’iyyah seperti zakat. Dalam perkembangannya ilmu fiqih masa kini telah
digelar, seperti fiqhuz zakatnya al Qardlawi. Demikian pula masalah yang
bertalian dengan hukum bioteknologi sangat memerlukan tanggapan dan pemikiran
yang antisipatif.
Persoalan yang perlu dicermati
dalam mengartikan ijtihad dalam arti yang lebih luas ialah metodologinya.
Apakah disamakan dengan metode penetapan hukum dalam arti sempit ataukah perlu
qaidah-qaidah baru, sebagai contoh.
Hukum Berijtihad di Kalangan
Ulama
Persoalan lain yang perlu
dibicarakan dalam ijtihad ini adalah hukum berijtihad. Imam Asy Syaukani
menukilkan ucapan sebagian ahli fiqih yang artinya: Hendaknya di setiap negara
terdapat orang yang mampu berijtihad. Sebab ijtihad itu termasuk fardlu kifayah
hukumnya.
Imam An Nawawi menyebutkan, bahwa
ijtihad mustaqil (yang menggunakan manhajnya sendiri langsung dari dalil
syara’) telah terhenti sejak awal abad IV hijrah, sedangkan ijtihad muntasib
(yang mendasarkan manhaj sesuatu aliran) masih selalu ada sampai munculnya
tanda-tanda kiamat kubro. Dan ijtihad muntasib ini tidak boleh terputus karena
hukumnya fardlu kifayah. Kapan saja penduduk suatu kota mengabaikan ijtihad muntasib ini dan
meninggalkannya, maka berdosalah semuanya. Demikian juga menurut pendapat Imam
al Mawardi, ar Robbani, al Banawi dan sebagainya.
Ibnu Shalah berkata: Pendapat
yang saya lihat dari buku-buku para Imam mengisyaratkan bahwa yang dihukumi fardlu kifayah adalah
“mujtahid muqayyad” sedangkan pendapat yang kuat menurut saya bahwa yang
dihukumi fardlu kifayah adalah ijtihad mutlak.
Maksud Ibnu Shalah ialah, untuk
melaksanakan fardlu kifayah ini harus ada mujtahid yang mampu menggunakan
dalil-dalil syara’ secara langsung.
Atas dasar ini, seorang ulama
yang telah memiliki dalam dirinya kemampuan untuk berijtihad dan tersedia
fasilitas-fasilitas untuk ijtihad hendaknya melengkapi dirinya dengan
syarat-syarat ijtihad di bidang ini dan berusaha terus untuk memperluas serta
memperdalamnya sehingga ia mencapai derajat ijtihad mutlak. Guna menutup lobang
kekosongan dan mengangkat kesulitan dan dosa dari umat Islam, sekarang
dilakukan ijtihad jama’i.
Ketetapan hukum demikian ini
berlaku secara umum dalam segala perbuatan yang hukumnya fardlu kifayah. Bila
terdapat seorang yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya hendaknya ada yang
maju mengisi kekosongan ini sebagai tanda syukur kepada Allah yang telah
melimpahkan nikmat kepada dirinya.
Uraian di atas adalah berkenaan
dengan hukum ijtihad bila dilihat dari segi deskripsi dan kemampuan. Kalau
dilihat dari sudut bermunculannya kejadian yang menuntut adanya fatwa, sebagian
ahli ushul membagi tiga yaitu; fardlu ‘ain, fardlu kifayah, dan nadb.
Pertama, Ijtihad itu fardlu ‘ain
dalam dua keadaan:
- Ijtihad yang harus dilakukan oleh diri seorang mujtahid,,
ketika muncul suatu kejadian-kejadian – dengan kata lain, ia harus
berijtihad untuk dirinya tentang hal yang berhubungan dengan ibadah,
muamalah, perkawinan, talaknya dan sebagainya.
- Ijtihad dalam suatu perkara yang dimana dia harus
memutuskan hukumnya (seperti tiadanya orang selain dirinya sendiri yang
bisa dipercaya kefasihan dan kemampuan agamanya. Di saat demikian ini ia
wajib berijtihad) bila kebutuhan mendesak cepat untuk menentukan hukum
kejadian itu, ia harus cepat pula berijtihad tetapi bila tidak terlalu
mendesak, bolehlah ia menundanya.
Kedua: Ijtihad yang fardlu
kifayah, dalam dua keadaan:
- Bila terjadi suatu perkara pada seseorang lalu
minta fatwa kepada seseorang ulama, kewajiban untuk menjawab fatwa itu
dipikulkan kepada semua umat, terutama ulama yang diajukan kepadanya
pertanyaan itu. Kalau dia atau lainnya menjawab masalah tersebut gugurlah
kewajiban atas umat tetapi kalau tidak ada yang menjawab maka berdosalah
semuanya.
- Suatu hukum yang harus diputuskan oleh dua orang
hakim dalam suatu majelis. Kewajiban untuk memutuskan ini dipikulkan
kepada kedua pundak hakim tadi. Bila salah seorang telah menetapkan
keputusannya, gugurlah kewajiban atas hakim yang kedua.
Ketiga: Hukum Ijtihad yang mandub
(bersifat keutamaan), terdapat dalam dua keadaan:
a. Ijtihad seorang ulama terhadap
perkara yang belum muncul sehingga ia telah mengetahui hukum suatu perkara yang
belum terjadi itu.
b. Ijtihad terhadap suatu perkara
yang ditanyakan oleh seseorang kepadanya sebelum terjadinya perkara itu.
Dalam pada itu perlu dicatat
bahwa sebagian ulama menambahkan adanya ijtihad yang haram hukumnya yaitu
ijtihad yang bertentangan dengan dalil qath’i sebab ijtihad tersebut dianggap
sebagai ijtihad tidak pada tempatnya. Di antara ijtihad yang haram itu adalah
ijtihad orang yang tidak berhak melaksanakan ijtihad yaitu ijtihadnya pemimpin
yang tidak mempunyai kemampuan, telah diungkapkan oleh hadits bahwa mereka
memberi fatwa tanpa didasari ilmu sehingga sesat dan menyesatkan.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002
0 Response to "Pengembangan Penggunaan Ijtihad dan Aplikasinya"
Post a Comment