Pembagian
hadits dari segi Kualitas
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad
benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan)
dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil
mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh
telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti
lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang
hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya),
mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun
sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima
sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi
hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits
shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
- Hadits Shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada
celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai
berikut :
· Menurut Ibn
Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari
orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak
ber’illat”.
· Menurut Imam
Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa
syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya bersambung, 2) perawinya
bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz, dan 5)
matannya tidak mengandung ‘illat.
- Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang
berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits
hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh
Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
وَخَبَرُ اْلآحَادَ بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ
غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ لِذَاتِهِ. فَاءِنْ خَفَّ
الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ
khabar ahad
yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung
sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika
kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Dengan
kata lain hadits hasan adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ
وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ
Hadits hasana
adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang
sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.
Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits
shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke
dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits
hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.[1]
b. Contoh
hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah,
dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari
Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِليَ السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ
مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia
umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
c. Macam-macam Hadits
Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi
dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih
dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan
dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala criteria dan persyaratan yang
ditemukan. Hadits hasan lidzatih sebagaimana defenisi penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa
pendapat diantaranya adalah :
هُوَ اْلحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقِ أُخْرَي مِثْلُهُ
أَوْ أَقْوَي مِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang
sama atau lebih kuat.
هُوَ الضَّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلـَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ
فِسْقَ الرَّاوِي أَوْكِذْبُهُ
“adalah hadits
dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik
atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits
dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1) Harus
ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan
hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan
kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul)
identitas perawi.
d. Kehujjahan
hadits Hasan
Hadits
hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua
fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari
kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits
(musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan
shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu
Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
- Hadits Dhaif
- Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi
bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang
berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak
memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah
hadits dhaif adalah :
هُوَ مَا لَمْ
يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadits
yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang
tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas
ulama :
هُوَ مَا لَمْ
يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan
hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi
sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya
tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith,
terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang
tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[2]
- contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui
jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi
SAW bersabda :
وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ
كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada
dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari
apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu
Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Thariq At- Tahzib memberikan komentar :
فِيْهِ لَيِّنٌ padanya lemah.
- Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’
(hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang
tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan
jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak
berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak
menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang
ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau
sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang
meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan
bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya : رُوِيَ diriwayatkan, نُقِلَ dipindahkan, فِيْمِا يُرْوِيَ pada sesuatu
yang diriwayatkan dating.
Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
- Pengamalan hadits dhaif
Para
ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi
menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif
tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al
a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas
dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu
Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif
dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah
hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa
hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif
dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang
menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu
berikut :
· Tidak terlalu
dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta
(hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku
pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
· Masuk kedalam
kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits
maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang
membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul
dibandingkan oposisinya).
· Tidak diyakinkan
secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau
ikhtiyath.
- Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif
yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk
kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan
sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang
terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian
mudhatahrib.[3]
[1] Loc.cit. Abdul Majid
Khon, hlm. 159.
[2] Ibid. hlm. 164
[3] Ibid. hlm. 167.
0 Response to "Pembagian Hadits dari segi Kualitas Perawinya"
Post a Comment