al-Maslahatul Mursalah
Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh
syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau
meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar
atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan
atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah
semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk
mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Mujtahid yang
dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah al-mursalah adalah Imam
Hanbali dan Imam Malik.
Para ulama fikih yang mendukung konsep ini membagi jenis mashlahah
kepada dua macam, yaitu:
A. Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahah yang diakui
syari'ah terdiri dari tiga, macam yaitu:
(1) Dharuriyyah (bersifat mutlak), yaitu kemaslahatan yang menyangkut
komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut
terpelihara [a] agama, [b] diri (jiwa, raga dan kehormatannya), [c] akal
pikiran, [d] harta benda, dan [d] nasab keturunan. Kelima komponen tersebut
biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau
al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan
kebutuhan manusia)
(2) haajiyyah (kebutuhan pokok), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan hal-hal
yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan
menolak halangan-halangan. Dan apabila hal-hal tersebut tidak terwujud, maka
tidak sampai menjadikan aturan hidup manusia berantakan atau kacau, melainkan
hanya membawa kesulitan-kesulitan saja.
(3) Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun
dan tata krama dalam kehidupan.
Penempatan
masalah ini sebagai suatu sumber hukum
sekunder, menjadikan hukum Islam
itu luwes dan dapat diterapkan
pada setiap kurun waktu di segala lingkungan
sosial. Namun perlu dicatat
ruang lingkup penerapan
hukum mashlahah ini adalah bidang mu'amalat, dan tidak menjangkau
bidang ibadat, karena ibadat itu adalah hak prerogatif Allah
sendiri. Sedangkan objek kajiannya adalah
kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada
satupun nash (Alquran dan Hadis) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini
disepakati oleh kebanyakan pengikut madzhab fikih, demikian pernyataan Imam
al-Qarafi ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah yang menerangkan
bahwa mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang
mu'amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk
menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap
hikmah ibadat itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadat sesuai
dengan ketentuan-Nya yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.
Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam asy-Syafi'i dan sebagian
besar pengikut Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahat mursalah harus
dengan syarat, harus ada persesuaian dengan mashlahat yang diyakini, diakui dan
disetujui oleh para ulama.
Para ulama fikih yang mendukung konsep ini mencatat tiga
persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
1.
Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa
ia memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya
atau kemelaratan).
2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan
pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi
kebutuhan umum.
3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada
terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash syari'ah atau ketetapan
yang dipersamakan (ijma').
B. Dilihat
dari segi wilayah kebutuhan, maslahah yang diakui syari'ah terdiri
atas dua macam, yaitu
[1] mashlahah 'ainiyah
(kepentingan perorangan) dari
setiap manusia, yang sifatnya
umum yakni yang merupakan kepentingan
setiap manusia dalam
hidupnya, seperti yang digambarkan dalam
uraian terdahulu tentang
al-kulliyyat al-khams. Hal-hal ini terkait dengan
taklif yang berbentuk fardhu 'ain. Seperti misalnya yang menyangkut
mashlahah harta benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda (untuk makan,
pakaian dan tempat
tinggalnya) hal ini bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan
dalam tuntunan Rasulullah saw. (thalab-u
'l-halal faridhatun 'ala kulli muslim) yaitu kewajiban bekerja
mencari rizki memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
Seterusnya yang menyangkut
mashlahah akal pikiran,
bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam hadits lain
yang berbunyi (thalb-u 'l-'ilmi
faridhatun 'ala kulli muslim). Begitu
seterusnya menyangkut tiap
mashlahah yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya
dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan
adanya pengakuan atas mashlahah
dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak mutlak perorangan bagi
setiap manusia.
[2] mashlahah
'ammah yang menjadi kepentingan bersama masyarakat atau
kepentingan umum. Ini menyangkut
hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.
Imam Rafi'i menjelaskan, fardhu kifayah itu adalah
urusan umum yang menyangkut
kepentingan-kepentingan
(mashalih) tegaknya urusan agama
dan dunia dalam
kehidupan kita, di antaranya adalah
[a]
mencegah madarat kekacauan, seperti
persengketaan dan peperangan, kekacauan dan pertumpahan darah, serta kondisi
anarkis, sehingga al-hajah ad-dharuriyyah kehidupan menjadi terancam, bahkan
hancur.
[b]
merealisasikan kewajiban agama, baik untuk individu maupun kelompok sosial.
[c]
mewujudkan keadilan yang sempurna
Diantara contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah
Abu Bakar mengumpulkan Alquran yang terkenal dengan jam'ul Alquran. Pengumpulan
Alquran ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara', tidak ada nash yang
memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya. Setelah terjadi peperangan
Yamamah banyak para penghafal Alquran yang mati syahid (± 70 orang). Umar bin
Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar pengumpulan Alquran itu, bahkan
menyangkut kepentingan agama (dhurari). Seandainya tidak dikumpulkan, dikhawatirkan
aI-Alquran akan hilang dari permukaan dunia nanti. Karena itu Khalifah Abu
Bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.
Demikian pula tidak disebut oleh syara' tentang keperluan
mendirikan rumah penjara, menggunakan mikrofon di waktu adzan atau shalat
jama'ah, menjadikan tempat melempar jumrah menjadi dua tingkat, tempat sa'i dua
tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk kemashlahatan agama,
manusia dan harta.
Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan
antara qiyas, istihsan dan mashlahat mursalah. Pada qiyas ada dua peristiwa
atau kejadian, yang pertama tidak ada nashnya, karena itu belum ditetapkan
hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan hukumnya. Pada
istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat dari yang kedua. tetapi karena
ada sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang kedua. Sedang pada mashlahat
mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan
dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi ada suatu kepentingan
yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya. Karena itu
ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu.
0 Response to "al-Maslahatul Mursalah"
Post a Comment