Tokoh-tokoh dan ajaran Hukum Islam
masa kemunduran
Pada masa kemunduran
pemikiran hukum Islam muncul tokoh-tokoh penting yang hidup pada zamannya dan
mewarnai aktivitas pemikiran hukum Islam dengan dengan munculnya teori maqashid
al-Syari’ah. Maqasid syari’ah
berarti tujuan Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan
ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah sebagai
alasan logis bagi rumusan, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan
umat manusia.
Kegiatan penelitian
tujuan hukum (maqashid al-Syari’ah) telah dilakukan oleh para ahli ushul
fikih terdahulu. Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli ushul fikih pertama
yang menekankan pentingnya memahami maqashid aI-Syari’ah dalam
menetapkah hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan
mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah
menetapkan perintah-perintah dan larang-laranganNya.
Kerangka berpikir
al-Juwaini di atas kelihatannya dikembangan oleh muridnya al-Ghazali (450H./1058M.-505H./IIIIM.)
dalam kitabnya Syifa al-Ghazali ia menjelaskan maksud syari’at dalam
kaitannya dengan al-munasabat al-maslhahiyyat al-qiyas. Sebagai seorang
pemikir Islam terbesar, A1-Ghazali, tidak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi
juga di luar Islam, maka sangat wajar jika banyak penulis tertarik
untuk-menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al-Ghazali, baik dari kalangan
Muslim, maupun dari kalangan Orientalis. Al-Ghazali (1058/1111M.) [1]
Sebagai pemikir besar
Islam, maka hasil pemikiran Al-Ghazali masih tetap menjadi warisan umat Islam,
meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruh Al-Ghazali tersebut dapat
dilihat dan gelar hujjah al-Islam yang disandangnya. Berbagai pujian
dilontarkan oleh penulis dan pemikir kepadanya, juga cercaan dan orang-orang
yang tidak senang kepadanya. Semua itu merupakan bukti kebesaran nama seorang
Al-Ghazali.[2]
Pada masa al-Ghazali,
tidak saja terjadi disintegrasi umat Islam di bidang politik, melainkan juga di
bidang sosial-keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa
golongan mazhab fiqh dan aliran kalam yang masing-masing tokoh ulamanya dengan sadar
menanamkan fanatisrne golongan kepada umat. Sebenarnya tindakan serupa juga
diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa menanamkan pahamnya kepada
rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan cara kekerasan. Sebagai contoh,
apa yang dilakukan oleh Al-Kundury, Perdana Menteri Dinasti Saljuk pertama yang
beraliran Mu’tazilah sehingga mazhab dan aliran lainnya (seperti mazhab Syifi’i
dan Asy’ari) menjadi tertekan, bahkan banyak korban dan tokoh-tokohya.
Akibat dari fanatisme
golongan yang melibatkan pada masa itu, sering timbul konflik antara golongan
mazhab dan aliran, malah meningkat sampai menjadi konflik fisik yang meminta
korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antara berbagai mazhab dan aliran,
masing-masing mempunyai wilayah penganutnya- Khurasan, mayoritas penduduknya
bermazhab Syafi’i, dan Transoxiana dan Balkah bermazhab Hanafi dan Hanbali,
sedangkan di Bagdad dan wilayah Iraq, mazhab Hambali lebih dominan.
Menelusuri tentang
karya-karya Al-Ghazali, maka dia digolongkan cukup produktif dalam hal
penulisan karya ilmiah, karena ia memiliki kecenderungan intelektual yang
sangat luas (gemar akan ilmu pengetahuan), dia juga memiliki kemampuan menulis
yang sangat tinggi, hal ini dibuktikan oleh al-Ghazali, menulis sejak umur 20
tahun.
Dari keterangan yang
diperoleh, nampaknya memang wajar, jika dikatakan bahwa al-Ghazali merupakan
salah seorang pemikir Islam yang memiliki kecenderungan intelektualitas yang
tinggi, sebab ia masih relatif muda, dan tulisan pertamanya mendapat pujian
dari gurunya al-Juwaini.
Tentang jumlah karangan
al-Ghazali, sampai saat ini belum terdapat kata pasti. Besar kemungkinan
disebabkan karena masih adanya karya-karya al-Ghazali yang belum diterbitkan
dan masih dalam bentuk naskah yang tersimpan di perpustakaan, baik di negeri Arab
maupun di Eropa. Sebab lain, karena sebahagian di antara karya-karyanya telah
lenyap dibakar pada saat tentara Monggol berkuasa, juga sebahagian dibuang
penguasa Spanyol atas perintah Qadhi Abdullah Muhammad ibn Hamdi.[3]
Kategori ini terdiri dan sejumlah 72 buku, 22 buku yang diragukan sebagai karya
al-Ghazali, karya-karya yang mengatakan secara pasti buku al-Ghazali, sebanyak
31 buah.
Adapun landasan pemikiran
Al-Ghazali, bahwa sebagai seorang muslim tetap mendasari pemikiran-pemikirannya
kepada pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Di samping itu juga ia
mempergunakan akal (al-ma’quI) sebagai landasan berpikirnya. Di dalam
kitabnya Qanun al-Ta’wil, Al-Ghazali mengungkapkan kesetujuannya
terhadap golongan yang menggabungkan antara wahyu dengan akal sebagai dasar
penting dalam membahas sesuatu.
Ketika Al-Ghazali
membahas dalil-dalil pokok (yang utama) untuk ijma’ ia menempuh 3 (tiga) jalan,
sebagai berikut:
a. Berpegang pada Al-Qur’an
b. Berpegang pada pendapat Rasulullah
Saw, bahwa umat tidak akan bersepakat pada kesalahan (kesesatan)
c. Berpegang teguh pada metode ma’nawy.
Dalam kitab al-Mustashfa, Al-Ghazali menyebutkan bahwa
rukun Ijtihad ada tiga; Fi Nafs al-Ijtihadi, Al-Mujtahad,
Al-Mujtahidu Fihi. Menurut al-Ghazali bahwa Ijtihad ialah
menggambarkan sesuatu yang diperjuangkan dan menghabiskan usaha dalam sebuah
aktifitas dan tidak bekerja kecuali pada hal-hal berupa beban (kesulitan)
secara menyeluruh.
Menurut al-Ghazali Orang yang berijtihad, mempunyai
dua syarat, Pertama : mengetahui seluk-beluk syari’at, mana yang
didahulukan dan mana yang wajib dikemudiankan.. Kedua : seseorang mujtahid
harus adil dan menjauhi dosa, persyaratan inilah sebagai landasan dalam
berfatwa, jika tidak adil, maka sama sekali tidak diterima fatwanya. Jadi
keadilan seseorang mujtahid sebagai syarat sahnya ijtihad, juga selalu
memperhatikan Al-Quran dan As-Sunnah. Di samping itu tidak dijadikan syarat
seorang mujtahid bahwa dia harus mengetahui semua kitab yang berhubungan dengan
hukum-hukum, tetapi mengetahui sekitar 500 ayat, juga tidak disyaratkan
menghafalnya; tetapi mengetahui tempat ayat ketika dibutuhkan.
Adapun tentang hadis, harus mengetahui hadis-hadis
yang terkait dengan hukum. Tidak diharuskan untuk menghafalnya, seperti Sunan
Abu Daud, Sunan Ahmad dan Al-Baihaqy. Adapun ijma’ diharuskan menghafal
semua kejadian ijma’ dan perbedaanperbedaannya, tetapi sebaliknya mengetahui
fatwa-fatwa yang mana tidak bertentangan dengan ijma’
Al-Mujtahidu Fihi, atau persoalan Ijtihad ini
sendiri, di sini dijelaskan bahwa semua hukum agama yang tidak mempunyai
dalil-dalil qathy, bahkan ada pendapat (secara dzanni) bahwa syarat mujtahid
bukan Nabi, maka tidak diharuskan berijtihad bagi Nabi dan juga sebagai syarat Ijtihad
tidak terjadi pada zaman Nabi; maka timbul dua masalah: terjadi perbedaan
pendapat dalam kebolehan taabud dengnan qiyas dan ber Ijtihad pada
zaman Rasulullah Saw. dalam hal ini terjadi dua versi: Sekelompok yang
melarangnya, dan sekelompok yang membolehkannya. Pendapat pertama : boleh dalam
hal memutuskan perkara dan hal pemerintahan dalam keadaan Raasulullah tidak
ada. Pendapat kedua: yang membolehkan dengan mengatakan dengan izin Rasulullah
cukup dengan diamnya Rasulullah Saw.
Menurut Al-Ghazali dalam mendapatkan hukum ada tiga
cara: Secara ijmali (global) menurutnya ada ke-ijmalan, sebagai
contoh pada Firman Allah Swt;
وامسحوا بر ء وسكم dalam
hal ini Imam Malik dan Abu Bakr dan Ibnu Jany, (dari Nahat) meniadakan
al-Urf, mewajibkan membasuh seluruh rambut pada setiap berwudhu, sementara itu Imam
Syafi’i dan Abd. Jabbar dan Abu al-Huzain keduanya dari Mu’tazilah
menetapkan membasuh tangan degan saputangan, itu berarti membasuh tangan
dari sebahagian saputangan, maka wajib membasuh sebahagian rambut. Karena itu Imam
Syafi’i dan pendapat-pendapat yang lain: bahwa
membasuh dari segi bahasa adalah sebahagian seperti halnya mandi yang berarti
keseluruhan.
Secara Al-Bayan, dengan mengambil contoh sah
keterangan dengan perbuatan sama kalau memakai dengan perbuatan. Contoh yang
lain, Rasulullah Saw., menjelaskan shalat dan haji dengan perbuatannya (dengan
contohnya), pada kebanyakan orang mukallaf sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
dalam riwayat Bukhary:
صلوا كمارايتمونى ا صلى خذوا على مناسككم
Dari sini menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw.,
menjelaskan melalui perbuatan.
Dalam hal mengambil suatu hukum, Al-Ghazali
mengandalkan hadis-hadis mutawatir, dengan syarat antara lain sebagai berikut:
harus mendahulukan ilmu pada hadis itu, harus
mendahulukan sanadnya yang banyak dan tidak berbohong. Kalau bertentangan al-Jarhu
wa Ta‘dil, maka yang didahulukan adalah naqd al-sanad (kritik
sanad); hadis yang diriwayatkan satu jalur tetapi dengan syarat harusadil maka
itu dapat diterima.
Terkait dengan hal ini, maka dia mensyaratkan keadilan
di dalam ber-Ijma’ menggantungkan diri, tetapi tetap melegitimasi yang
tidak adil seperti di dalam kitab Al-Amidi dan Al-Ghazali menjelaskan
bahwa adil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’ itu bersifat umum, mutlak, lepas,
beda dengan Abu Hanifah, bahwa orang fasiq tidak boleh dijadikan hujjah.
Al-Ghazali secara etimologi memberi penjelasan bahwa kata qiyas berarti
mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya. Dalam Al-Mustashfa, ia
membari definisi qiyas, sebagai berikut : “Menanggungkan sesuatu yang
di ketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapakan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”
Dari definisi yang diberikan oleh Al-Ghazali, secara
panjang dan rumit, demikian juga penggunaan kata: hamala (menanggungkan),
ada juga pakai isbath (menetapkan), ilhaq (menghubungkan) dan
sebagainya. tersebut mengandung arti bahwa qiyas itu merupakan usaha
atau mujtahid.
Penggunaan kata ma’lum, oleh Al-Ghazali adalah
dimaksudkan untuk menjangkau kepada sesutu yang belum diketahui (ma’düm),
karena kalau dikatakan kata “sesuatu” menurut mereka, hanya berlaku yang
diketahui (maujud). Terlihat lagi Al-Ghazali difinisinya
menghubungkan antara ashal dan furu’ dengan kata (dalam
menetapkan hukum atau peniadaan hukum), maksudnya supaya qiyas itu dapat
mencapai qiyas ‘aks’ yaitu menghasilkan lawan hukum dari sesautu yang
diketahui pada tempat lain karena keduanya berbeda dalam illat, hukum.
Dalam praktek Usul Fiqh, qiyas dapat
dirumuskan sebagai cara untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat
dalam nash dengan cara menyamakannya (menganologikan) dengan kasus hokum yang
ada pada nash, disebabkan adanya persamaan illat hukum.
Selain al-Ghazali muncul
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa
bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi merupakan salah seorang
cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya.
Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke
daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di
kawasan Spanyol bagian timur.1 Asy-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh
pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng
terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa
pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan
umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan
berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di
kota tersebut sangat menguntungkan bagi asy-Syatibi dalam menuntut ilmu serta
mengembangkannya di kemudian hari.
Dalam meniti pengembangan
intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu,
baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid(esensi dan
hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami
bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al- Biri, Abu Qasim
Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, dan Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya,
ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin
al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul
fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad
ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi
al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat.
Di samping bertemu langsung, ia juga melakukan hubungan korespondensi untuk
meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada
seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi. Meskipun mempelajari dan
mendalami berbagai ilmu, asy-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa
Arab dan, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fikih
karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yang
sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam menanggapi perubahan
sosial.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, asy-Syatibi
mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi
berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah
al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh
Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab
dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fikih.
Asy-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Dalam kerangka ini, asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syariah.
Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan
al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah
berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah
sumber pokok kehidupan. Menurut istilah, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya
syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat”
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan Penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan Penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.
Dengan demikian,
kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah
yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Asy-Syatibi
menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baik dengan
cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil
berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun dengan
cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan
unsur apa pun yang yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.
Menurut
al-Syatibi [4]maqasidul
syariah terbagi kepada tiga tingkatan kebutuhan:
a. Kebutuhan Dharuriyat. Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau
disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi,
akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta
harta.
b. Kebutuhan Hajiyat ialah
kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam
keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan
segala kesulitan itu.
c. Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkat
kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu
dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa
kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan
menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata,
dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
Pengetahuan
tentang maqasid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd-Alwahhab Khalaf, adalah
hak sangat penting yang dapat dijadikan alat abntu untuk memahami redaksi
Al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan sangat
penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak bertampung
oleh Al-Qur’an dan sunah secara kajian kebahasan. [5]
Beberapa
ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan
hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
-
Memelihara segala
sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yang
dharuri itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila
tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah
kekacauan, dan berkembangnya kerusakan. Urusan-urusan yang dharuri itu kembali
pada lima pokok : Agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta
-
Menyempurnakan
segala yang dihayati manusia. Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu
yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran
taklif dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak
peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa
kesempitan dan kesukaran saja.
-
Mewujudkan
keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Ialah segala yang diperlukan oleh
rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini
tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa
kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang
sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali
kepada soal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk
mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama.
Urusan
dharuri merupakan sepenting-pentingnya maksud, karena apabila urusan-urusan
dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan,
menghilangkan keamanan dan merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, tidak
dipelihara hukum yang bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu
dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka
aurat untuk keperluan berobat. Menutup aurat merupakan urusan yang
mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis
untuk obat dan dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis
adalah urusan yang mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan
dharuri[6]
Wajib
kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran,
karena wajib kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran
dan kepicikan merupakan urusan tahsini yang mengindhkan. Karena itu tidaklah
dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, apabila merusak
dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali kalau suatu dharuri
yang lebih penting dari padanya. Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad
untuk memeliharanya sebab memelihara agama adalah lebih penting dari pada
memelihara jiwa. Meminum arak dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau
karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara
akal. Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang
karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara harta.
[1] Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm 13.
[2]Nurcholish Madjid, Khazanah lntelektual Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 34.
[3]Ahmad
Syafi Ma’arif, Peta Bumi intelektuat Islam Indonesia , (Bandung: Mizan,
1993), hlm 57
[4]Khairul
Uman, Achyar Amitudin, Ushul
Fiqh II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998) hlm 75
[5]Djazuli,
Fiqh Siyasah, Implementasi
Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, (Jakarta : Pustaka Media, 2003) hlm 16
[6]Satria
Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008) hlm 19
0 Response to "Tokoh dan ajaran Hukum Islam masa Kemunduran ( Pemikiran Imam AL-Ghazali )"
Post a Comment