Pembagian Macam-Macam Hukum
1.
Hukum Taklifi
Hukum
taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang
berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan
seorang mukallaf (balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf
untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara
pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah
Al-Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan
tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk
meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat
Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang
benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan untuk
melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.[1]
Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam,
yaitu:
a. Tuntutan
untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu
perkara yang apabila dikerjakan mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan
akan mendapat ancaman Allah Swt, yang disebut dengan istilah “wajib”. Contohnya: mengerjakan
shalat, puasa, dan sebagainya.
1.
Pembagian Wajib Ditinjau dari Waktu
Pelaksanaannya
a.
Wajib Muthlak
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu
pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu
melaksanakannya. Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan
oleh syara’.
b.
Wajib Muaqqad
Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya
ditentukan dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa
ramadhan. Wajib
ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
v Wajib muwassa’, yaitu
kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan
kewajiban itu. Contohnya waktu
shalat lima waktu, shalat isya dari petang sampai
subuh.
v Wajib
mudhayyaq, yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu
sendiri. Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit
fajar sampai maghrib.
v Wajib
dzu syahnaini, yaitu
kewajiban yang pelaksanaannya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua
sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq. Yaitu
waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjangnya contohnya ibadah haji.
2.
Pembagian Wajib dari Segi Pelaksana.
a.
Wajib ‘ain, suatu kewajiban yang harus
dikerjakan oleh setiap orang mukallaf, sehingga jika ia meninggal, berdosalah
ia dan berhak disiksa. Contoh, sholat, zakat, menepati akad (memenuhi janji),
memberikan hak orang lain yang berhak, dan kewajiban-kewajiban lain yang
apabila ditinggalkan berdosa.
b. Wajib
kifayah, suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dari
sekelompok masyarakat. Sehingga jika pekerjaan tersebut telah dikerjakan oleh
sebagian masyarakat, maka bebaslah yang lain dari kewajiban itu, tanpa
menanggung dosa. Tapi jika tidak ada seorangpun yang mengerjakan tuntutan
tersebut, maka berdosalah seluruh anggota masyarakat.
3. Pembagian
Wajib dari Segi Kadar yang Dituntut.
a.
Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang
ditentukan kadarnya. Contoh: zakat.
b.
Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban
yang tidak ditentukan kadarnya. Contoh: memberikan nafkah kepada kerabat
(family).
4.
Pembagian Wajib dari Segi Bentuk Perbuatan
yang Dituntut.
a.
Wajib mu’ayyan, yaitu wajib yang ditentukan zatnya, contoh: membaca Al Fatihah
dalam shalat.
b.
Wajib mukhayyar,
yaitu wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh:
kafarah sumpah.[2]
b. Tuntutan
untuk memperbuat secara tidak pasti,
dengan
arti perbuatan itu dituntut untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan yang
apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah
Swt dan apabila ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal
dengan istilah “Mandub (sunah)”. Contohnya:
sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis, dll.
Mandub
(sunah) dibagi menjadi:
1.
Dari Segi Selalu dan Tidak Selalunya Nabi
Melakukan Sunah tersebut.
a.
Sunah muakkadah, yaitu perbuatan yang
dilakukan oleh nabi disamping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan
itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu. Seperti, shalat dua rakaat sebelum subuh,
dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dan dua rakaat setelah
isya’.
b.
Sunah ghairu muakkadah, yaitu perbuatan
yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya dengan
perbuatan tersebut atau sunah yang tidak dikerjakan oleh Rosulullah Saw secara
kontinyu. Seperti, shalat empat rakaat sebelum zhuhur, empat rakaat sebelum
ashar, empat rakaat sebelum isya’.
2.
Dari Segi Kemungkinan Meninggalkan Perbuatan.
a.
Sunah hadyu, yaitu perbuatan yang dituntut
untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang
yang meninggalkannya dianggap sesat. Contohnya shalat hari raya.
b.
Sunah zaidah, yaitu sunah yang bila
dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila ditinggalkan tidak mendapat
dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila
ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
c.
Sunah nafal, yaitu perbuatan yang dituntut
sebagai tambahan bagi ibadah wajib.[3]
c. Tuntutan
untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan
yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat ancaman
dari Allah Swt dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang
dikenal dengan istilah “haram”.
Contoh-contoh perbuatan yang diharamkan banyak sekali. Diantaranya makan
bangkai, minum khamr (minuman keras), berzina dan lain-lain.
Haram dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
1.
Haram Li-dzatih,
yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT, karena bahaya tersebut terdapat
dalam perbuatan itu sendiri. Seperti makan bangkai, minum khamr, berzina,
mencuri yang bahayanya berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga,
yakni: badan, keturunan, harta benda, akal, dan agama. Perbuatan yang
diharamkan Li-dzatih adalah bersentuhan langsung dengan salah satu dari lima
hal ini.
2.
Haram Li
Ghairih/’aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’ , dimana adanya
larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan
tersebut menimbulkan haram Li-dzatih. Seperti melihat aurat perempuan, dapat
menimbulkan perbuatan zina, sedang zina diharamkan karena dzatiyahnya sendiri.
d. Tuntutan
untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti,
yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila
ditinggalkan akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”. Contohnya: merokok,
dll.
Makruh dibagi menjadi dua,
yaitu:
1.
Makruh Tahrim,
yaitu larangan yang pasti, yang didasarkan pada dalil zhanni (yang masih
mengandung keraguan dalam haram). Seperti memakai sutera, cincin dari emas dan
perak bagi kaum lelaki. Makruh tahrim ini, merupakan lawan (kebalikan) dari hukum
wajib.
2.
Makruh Tanzih,
definisinya sama dengan definisi yang dirumuskan oleh Jumhur Fuqaha’. Makruh
tanzih ini merupakan lawan (kebalikan) daru hukum mandub.
e. Sesuatu
yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi,
disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Hal ini
tidak diperintahkan dan `tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini
disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau
tidak itu disebut “mubah”. Contohnya: melakukan
perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji, dll.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1. Jangan berlebihan.
2. Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama
yang tanpa ada contoh atau tanpa
ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
3. Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga
melalaikan dari akhirat.
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal,
yaitu:
a.
Tiada berdosa bagi yang
mengerjakan perbuatan yang mulanya diharamkan, dengan ada qorinah (tanda-tanda)
atas diperbolehkannya perbuatan tersebut. Sesuai dengan Firman Allah SWT dalam
Surat Al-Baqarah: 173.
b.
Tiada nash (dalil) yang
menunjukan haramnya perbuatan tersebut. Contohnya mendengarkan dan
mempergunakan radio.
c.
Ada nash (dalil) yang
menunjukan atas halalnya perbuatan tersebut seperti makan makanan yang halal,
berdasarkan Firman Allah SWT pada Surat Al-Maidah: 5
2.
Hukum Wadh’i
Hukum wad’i adalah hukum yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi
sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari
pelaksanaan hukum
taklifi.
Hukum wadh’i terbagi kedalam beberapa
macam, yaitu:
a.
Sebab
Menurut
istilah syara’ sebab adalah suatu keadaan atau peristiwa yang dijadikan sebagai
sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan atau peristiwa itu menyebabkan
tidak adanya hukum. Atau sesuatu yang pasti yang menjadi asas terbentuknya
sesuatu hukum. Sekiranya ia wujud, maka wujudlah hukum dan sekiranya ia tidak
wujud, maka tidak wujudlah hukum berkenaan. Sebagai contoh, melihat anak
bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa.
Ia berdasarkan firman Allah
SWT:
Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan
Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…(al-Baqarah:
185).
Demikian juga Allah SWT mengharuskan untuk mengqasarkan shalat sekiranya
berada dalam keadaan musafir.
Firman Allah SWT: Dan apabila kamu
musafir di muka bumi, maka kamu tidaklah berdosa mengqasarkan (memendekkan)
sembahyang…(an-Nisa': 101)
Melalui dua contoh di atas, kita dapat memahami
bahawa melihat anak bulan menjadi sebab wajibnya berpuasa, manakala musafir
menjadi sebab keharusan shalat secara qasar.
Ulama
ushul membagi sebab kepada dua macam :
1.
Sebab yang bukan merupakan perbuatan
mukallaf dan berada diluar kemampuannya. Namun demikian, sebab itu mempunyai
hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah menjadikannya sebagai alas
an bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang mukallaf,
seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu
shalat dhuhur, masuknya bulan ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban melakukan
puasa, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya seseorang memakan
sesuatu yang diharamkan.
2.
Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf
dan dalam batas kemampuannya, seperti perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya
berbuka puasa di siang hari di hari ramadhan, pembunuhan disengaja menjadi
sebab bagi dikenakan hukum qishas atas pelakunya dan akat transaksi jual beli
menjadi sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual pada pihak pembeli.[4]
b.
Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah
syarat. Syarat ialah sesuatu yang dijadikan syar’i (Hukum Islam), sebagai
pelengkap terhadap perintah syar’i, tidak sah pelaksanaan suatu perintah
syar’i, kecuali dengan adanya syarat tersebut. Atau sesuatu yang menyebabkan
ketiadaan hukum ketika ketiadaannya. Namun, tidak semestinya wujud hukum ketika
kewujudannya.
Syarat
berada di luar hukum tetapi ia memainkan peranan yang sangat penting dalam
mempengaruhi sesuatu hukum itu.
Misalnya:
Sampainya nisab pada harta menjadi syarat bagi adanya kewajiban zakat, adanya
perbuatan wudhu’ menjadi syarat adanya perbuatan shalat.
Para
ulama ushul membagi Syarat menjadi dua, yaitu :
1.
Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang
langsung dari syariat itu sendiri. Misalnya, keadaan rusyd (kemampuan untuk
mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubadzir) bagi seorang anka yatim,
dijadikan oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya.
2.
Syarat ja’ly, yaitu syarat yang datang
dari kemauan orang mukallaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami datang kepada
istrinya : “jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu”,
dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk
membayarkan hutang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar
hutangnya.[5]
c.
Mani’
Mani’ secara etimologi, berarti
“penghalang dari sesuatu”. Menurut istilah, Abdul Karim Zaidan, mendefinisikan
mani’ sebagai berikut: “sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang
bagi adanya hokum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Mani’ adalah suatu keadaan atau
peristiwa yang ditetapkan syar’i menjadi penghalang bagi adanya hukum atau
membatalkan hukum. Selain itu, mani juga disebut tegahan atau halangan yang
menyebabkan sesuatu hukum itu tidak dapat dilaksanakan. Ini bermakna, apabila
syarat dan sebab terjadinya hukum taklifi sudah ada, ia masih lagi belum
berlaku sekiranya ada mani'.
Sebagai contoh, dalam hukum faraid,
pertalian darah adalah menjadi sebab yang membolehkan pewarisan harta.
Syaratnya juga telah wujud disebabkan salah seorang daripada keduanya telah
meninggal dunia.
Mani’
dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1.
Mani’ terhadap hokum, seperti perbedaan
agama dalam hal waris mewarisi adalah suatu mani’ atau penghalang.
2.
Mani’ terhadap sebab hokum, seperti
seorang telah berkewajiban membayar zakat, akan tetapi dia mempunyai utang yang
sampai mengurangi nisab zakat, maka dia tidak wjib membayar zakat.
d.
Akibat
Termasuk
juga kedalam pembahasan hukum
wadh’i, hal hal yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. dalam hubungannya dengan hukum wadh’I yaitu:
1.
Shah, yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang
sudah berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang
ditentukan, dan telah terhindar dari semua mani’.
Misalnya:
shalat dzuhur yang dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan
oleh orang yang telah berwudhu’ serta orang yang tidak dalam keadaan haidh
(berhadast).
2.
Bathal, yaitu akibat dari suatu perbuatan
taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan
tetapi ada mani’ yang menghalanginya.
Misalnya:
shalat maghrib sebelum tergelincirnya matahari, atau tidak berwudhu’, atau
sudah keduanya,
akan tetapi dilakukan oleh wanita berhaidh.[6]
e.
Azimah dan Rukhsah
Azimah ialah peraturan Allah SWT yang
asli dan tersurat pada nas (al-Qur’an dan Hadis) dan berlaku umum. Misalnya: kewajiban
salat lima waktu dan puasa Ramadan. Haramnya memakan bangkai, darah, dan daging
babi.
Sedangkan Rukhsah ialah ketentuan
yang di syariatkan oleh Allah sebagai peringan terhadap seorang mukallaf dalam
hal-hal yang khusus, seperti bangkai sesuatu yang diharamkan, tetapi karena
tidak ada lagi makanan yang di peroleh dan dia dalam keadaan yang sangat lapar,
maka memakan bangkai diperbolehkan.
Rukhsah
tersebut ada beberapa macam, antara lain:
1.
Membolehkan hal-hal yang diharamkan
disebabkan darurat.
2.
Membolehkan meninggalkan sesuatu yang
wajib seperti diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena ada
suatu udzur.
KESIMPULAN
Secara etimologi kata hukum (al-hukm)
berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm)
berarti”khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik
berupa iqtidla (perintah, larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran
untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk
memilih antara melkakukan dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan
yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau mani’ (penghalang).
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut
hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka
yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan
dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
Secara garis besar para Ulama ushul fiqh
membagi hukum kepada dua macam, yaitu:
1.
Hukum Taklifi, menurut pengertian
kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang
berbentuk pilihan dan tuntutan. Hukum Taklifi terbagi menjadi lima, yaitu:
Wajib, Mandub, Haram, Makruh, dan Mubah.
2.
Hukum Wadh’I, adalah hukum yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi
sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari
pelaksanaan hukum
taklifi. Hukum Wadh’I terbagi menjadi lima macam, yaitu: sebab, syarat, mani’,
akibat, azimah dan rukhsah.
[2] Amir Syarifuddin,Ushul
fiqh, (Jakarta:Fajar
Interpratama). Hlm: 356
0 Response to "Pembagian Macam - macam Hukum"
Post a Comment