Ridha
terhadap hukum-Nya dan syari'at-Nya merupakan salah satu bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari keimanan kepada Allah Tidak termasuk golongan orang-orang yang
beriman orang yang menolak hukum atau perintah yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah SAW sebagai penjelasan terhadap Al-Quran, karena Allah SWT telah
mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia apa (kitab) yang diturunkan kepada
mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat jelas dalam Al-Quran Al Karim. Tidak
dikatakan beriman orang yang berhukum kepada selain dari Rasulullah SAW atau
orang yang menolak hukumnya atau ragu-ragu terhadap hukum itu. Allah SWT
berfirman:
"Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata."
(Al Ahzab: 36)
Allah
SWT juga menjelaskan dan menolak keimanan orang-orang munafik, sebagaimana
dalam firman-Nya:
"Dan
mereka berkata: 'Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati
(keduanya).' Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali
mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka,
tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu
untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah
(ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau
(karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan
rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang
yang zhalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka
ialah ucapan: 'Kami mendengar, dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung." (An-Nuur: 51)
Allah
SWT juga menjelaskan tentang orang yang ragu-ragu dalam menerima keputusan
Rasulullah SAW dan rela untuk menerima keputusan manusia lainnya, konon mereka
adalah orang-orang Yahudi:
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan berrnaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan
kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah
turunkan dan kepada hukum rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik
menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka
bagairnanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang
kepadamu sambil bersumpah ."Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki
selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah
orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengurus
seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau
mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka rnendapati
Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya." (An-Nisaa': 60-65)
Inilah
sikap orang-orang yang beriman terhadap Rasulullah SAW, hukum dan syari'atnya,
sungguh mereka tidak merasa ragu-ragu sedikit pun dalam menerima hukum atau
menolaknya. Dengan kata lain mereka tidak memilih alternatif lainnya dan mereka
tidak meninggalkan ketundukan dan ketaatan, sebagaimana itu dilakukan oleh
orang-orang munafik, bahkan prinsip dan semboyan mereka adalah "Sami'naa
wa Atha'naa."
Sikap
tersebut berbeda dengan sikap orang-orang munafik yang rela terhadap hukum
selain hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan segala sesuatu yang diikuti selain Allah
dan Rasul-Nya disebut "Thaghut," oleh karena itu Allah SWT
berfirman: "Yurriduuna an yatahaakamuu ila thaaghuut" itu
membuktikan bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua hukum, yaitu hukum Allah
dan hukum thaghut' tidak ada hukum yang ketiga.
Al-Quran
telah menggambarkan kepada kita tentang sifat-sifat orangorang munafik dan
sikap mereka terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman Allah
SWT:
"Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu .lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)
kamu." (An-Nisaa': 61)
Al-Quran
juga meniadakan keimanan dari orang yang tidak mau berhakim kepada Rasulullah
SAW ketika hidupnya, dan tidak mau berhukum pada Sunnahnya setelah beliau
wafat. Kalaupun sudah demikian, itu masih belum cukup. Disyaratkan agar mereka
ridha dan menyerah terhadap hukum tersebut. Inilah tabi'at keimanan dan inilah
buahnya:
"Kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65)
Barangsiapa
berpaling dari semua seruan ini dan menutup kedua telinganya dari ayat-ayat
tersebut, malah sebaliknya menerima aturan-aturan, perundang-undangan, sistem
dan tradisi dari selain jalan Rasulullah SAW serta ridha diatur oleh para
filosof, baik dari timur atau barat, ulama atau umara atau apa pun namanya,
berarti ia telah menentang Allah SWT terhadap apa yang Ia syari'atkan, dan
telah mengumumkan permusuhan dengan Allah dan Rasul-Nya, dan telah keluar dari
agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Sebagaimana firman Allah
SWT:
"Barangsiapa
yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir." (Al Maaidah: 44)
"Barangsiapa
tidak berhutum pada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zhalim." (Al Maidah: 45)
"Barangsiapa
tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah, rnaka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik." (Al Maadiah: 47)
Penggunaan
kata-kata tersebut (Kaafiruun, zhaalimuun, dan Faasiquun) di
dalam Al-Quran Al-Karim menunjukkan bahwa maknanya berdekatan. Allah SWT
berfirman:
"Dan
orang-orang kafir mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah:
254)
"Barangsuapa
yang kufur setelah demikian itu maka mereka adalah orangorang yang fasik."
(An-Nuur: 55)
"Tidak
ada yang menentang ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang kafir." (Al
Ankabut: 47)
Oleh
karena itu A1-Quran menjadikan kefasikan itu sebagai perlawanan terhadap
keimanan, sebagaimana dalam firman Allah SW:
"Seburuk-buruk
nama (sebutan) adalah kefasikan setelah beriman." (Al Hujuraat: 11)
"Apakah
orang mukmin itu sama dengan orang yang fasik, mereka tidaklah sama."
(As-Sajadah: 18)
Al-Quran
juga menceritakan tentang Iblis ketika menolak perintah Allah untuk bersujud
kepada Adam, sebagaimana firman Allah SWT:
"Ia
membangkang dan sombong, dan ia tergolong orang-orang yang kafir." (Al Baqarah: 34)
"Dia
(iblis) adalah (berasal) dari jin, kemudian ia fasik dan perintah
Rabb-Nya." (Al Kahfi: 50)
Maka
orang yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah berarti dia kafir,
zhalim atau fasiq atau mengumpulkan sifat-sifat ini kesemuanya.
Terutama apabila ia meyakini bahwa apa yang diturunkan oleh Allah itu
mengakibatkan jumud (beku), terbelakang dan menjadi mundur, sedangkan
hukum yang dibuat oleh manusia itulah yang membawa perkembangan, kemajuan,
perbaikan sosial dan peningkatan tarap hidup.
Termasuk
penyimpangan terhadap ayat-ayat Allah dan pelecehan yang nyata terhadap
konsepsi pemikiran manusia jika ada yang mengatakan, "Bahwa sesungguhnya
ayat-ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan
Nasrani." Dan orang yang berkata ini lupa atau pura-pura lupa bahwa
ayat-ayat muhkamat ini, meskipun diturunkan kepada kaum tertentu, tetapi
kalimat-kalimatnya bersifat umum, di mana hukumnya meliputi seluruh manusia
yang tidak berhukum pada hukum Allah SWT. Merupakan kaedah yang ditetapkan oleh
para mufassirin, bahwa "Ibrah diambil dari umumnya lafadz, bukan
sebab yang khusus." Dan mustahil jika Allah mencela Ahlul Kitab yang
pertama dengan kezhaliman, kekufuran dan kefasikan karena mereka telah menolak
membuang hukum Allah di belakang mereka dan tidak mau berhukum pada hukum
Allah, lantas memperbolehkan kepada kaum Muslimin saat ini. Atau juga kepada
Ahlul Kitab yang lainnya untuk menjadikan Kitab Allah menjadi terbengkalai
(terabaikan, sementara sebagian yang lain telah menjadikannya sebagai minhaj
(sistem) dan dustur (undang-undang) hidup mereka.
Apa
faedahnya menyebutkan ayat-ayat itu dalam kaitannya dengan Ahlul Kitab kalau
bukan memberi peringatan kepada kaum Muslimin agar jangan berbuat seperti
mereka dan berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga mereka dicela seperti
Ahlul Kitab dan sehingga mereka ditimpa oleh adzab Allah dan murka-Nya. Allah
SWT berfirman:
"Barangsiapa
ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia." (Thaha: 81)
Mengapa
Allah SWT menurunkan kepada manusia kitab dan mengutus kepada mereka seorang
Rasul, jika mereka kemudian membiarkan kitab itu dan menentang Rasul? Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan haq (benar), agar supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu."
(An-Nisaa': 105)
"Dan
Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah." (An-Nisaa': 64)
Oleh
karena itu Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya setelah menyebutkan ayat-ayat
di atas sebagai berikut:
"Dan
Kami telah turunkan kepadamuAl-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putusilah perkara mereka menurut apa
yangAllah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al Maaidah: 48)
Kemudian
Allah berfirman pada ayat-ayat berikutnya sebagai berikut:
"Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dan sebagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dan hukum yang telah diturunkan
Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnnya
kebanyakan munusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang
mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin?" (A1 Maaidah: 49-50)
Dengan
demikian maka dalam hidup ini hanya ada dua hukum, dan tidak ada ketiganya,
yaitu hukum Islam atau hukum jahiliyah, hukum Allah atau hukum Thaghut.
Maka hendaklah seseorang itu memilih untuk dirinya, dan hendaklah setiap kaum
memilih untuk diri mereka' hukum Allah (hukum Islam) atau hukum Thaghut
(hukum jahiliyah) dan tidak ada tengah-tengah dari keduanya.
Adapun
orang-orang yang beriman maka tidak ada alternatif bagi mereka, mereka selalu
siap bersama hukum Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu siap bersama Islam'
mereka senantiasa dalam peperangan dengan Thaghut dan hukum jahiliyah.
Sesungguhnya syi'ar (semboyan) mereka apabila diseru kepada Allah dan
Rasul-Nya, mereka selalu mengatakan: "Sami'na wa 'atha'naa."
Sedangkan
orang-orang yang kafir, mereka itu selamanya berada di jalan Thaghut,
mereka selamanya dalam keadaan ragu, mereka berada dalam kubangan jahiliyah.
Allah SWT berfirman:
"Dan
orang-orang yang kafir, wali-wali (penolong-penolong) mereka adalah Thaghut,
mengelaarkan mereka dan cahaya menuju kegelapan-kegelapan, mereka itulah
penghuni neraka, mereka di dalamnya kekal selama-lamanya." (Al Baqarah:
257)
Di
sini ada dua catatan penting' yaitu sebagai berikut:
Pertama:
Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah itu merupakan suatu
kewajiban yang pasti, tidak ada seorang Muslim pun yang menentang, ungkapan itu
sama dengan istilah yang berkembang saat ini "Hakimiyah adalah
kepunyaan Allah." Yang berarti Allah-lah yang mempunyai hak (wewenang)
secara mutlak untuk membuat suatu aturan hidup, berhak memerintah dan melarang,
menghalalkan dan mengharamkan, yang berhak menentukan dan memberikan beban
terhadap seluruh makhluk-Nya.
Sebagian
orang salah memahami bahwa prinsip ini katanya berasal dari penemuan Al-Maududi
di Pakistan atau Sayyid Quthub di Mesir, padahal kenyataannya pemikiran
(konsep) ini diambil dari ilmu "Ushul Fiqih Islami," dan ulama ushul
memuat pembahasan ini dalam bab "Hukum" yang masuk dalam muqaddimah
ilmu ushul, dan di dalam tema tentang "Al-Hakim." Siapakah
dia, mereka semuanya bersepakat bahwa "Al-Hakim" (yang menjadi
penentu hukum) adalah Allah, artinya Dia-lah yang memiliki kebenaran mutlak
dalam mengatur makhluk-Nya, sampai golongan Mu'tazilah pun tidak mengingkari
hal itu, sebagaimana dijelaskan oleh pensyarah kitab "Musallamus
Tsubuut," salah satu kitab ushul yang terkenal.
Dalil-dalil
atas ketetapan prinsip ini baik dari Al-Quran maupun Sunnah jelas dan nyata
yang sebagiannya telah kami sebutkan dalam menjelaskan kewajiban berhukum pada
apa yang diturunkan oleh Allah.
Kedua:
Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah SWT itu tidak akan
menghilangkan peran manusia, karena manusia itulah yang memahami nash-nash yang
ditujukan kepadanya dan meng-istimbath (menyimpulkan hukum) dari
nash-nash itu' kemudian memenuhi yang kosong dalam hal-hal yang tidak ada
nashnya, yang kami katakan dengan istilah "Min Thaqatul 'Afwi"
(sisi-sisi yang dimaafkan). Dan ini sangat luas di mana syari' (Allah
SWT) sengaja tidak membahasnya sebagai rahmat (kasih sayang) Allah
kepada kita, bukan karena lupa. Di sinilah akal seorang Muslim itu bisa
mencapai dan berijtihad dalam pancaran nash-nash dan kaedah-kaedah ushul.
0 Response to "Aqidah & Keimanan"
Post a Comment