Pengertian Aqidah dan Aqidah Islamiyyah
Pengertian
aqidah secara bahasa (etimologi) dalam bahasa Arab berasal dari dari kata aqada, ya’qidu, aqidatan. Kata tersebut
mengikuti wazan fa’ilatan yang berarti al-habl,
al-bai’, al-‘ahd (tali, jual beli, dan
perjanjian) Adapun pengertian secara terminologi (istilah) adalah:
a.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy menyatakan aqidah adalah iman. Iman merupakan
pembenaran (keyakinan) yang bersifat pasti (tashdiqu al-jaaziim) yang sesuai
dengan kenyataan berdasarkan dalil”.
b.
Mahmud Syaltouth menyatakan bahwa aqidah merupakan cara pandang keyakinan yang harus diyakini terlebih
dahulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan suatu keyakinan yang tidak
diliputi keraguan dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran yang menyerupainya”
c.
Muhammad
Husein Abdullah menyatakan aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia,
kehidupan, serta hubungan semuanya dengan sebelum kehidupan (Sang Pencipta) dan
setelah kehidupan (Hari Kiamat), serta tentang hubungan semuanya dengan sebelum
dan setelah kehidupan (syari’at dan hisab)
Dengan
demikian, maka segala bentuk keyakinan yang tidak berasal dari jalan yang
menghasilkan kepastian atau datang melalui jalan yang pasti tetapi masih
mengandung persangkaan (dzan) di
dalam keterangannya sehingga menimbulkan perselisihan para ulama, maka hal
seperti itu tergolong pada keyakinan yang tidak wajib oleh agama untuk
meyakininya. Hal ini merupakan garis pemisah atau pembatas yang tegas antara
orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman.
Berdasarkan
uraian di atas, Fathi Salim dalam kitab
Al-Istidlal Bi Az-Zanni Fi Al-Aqidah menyatakan bahwa aqidah Islam atau
iman agar pembenarannya bersifat pasti harus menunjukkan keyakinan (Al Ilmu). Sebab yang disebut dengan ‘Ilmu adalah i’tiqad atau keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataan,
sedangkan dzann merupakan i’tiqad (keyakinan) yang kuat tetapi
berdasarkan persangkaan sehingga bermuara pada keyakinan atau bisa sampai pada
keraguan (syak).
Sebutan aqidah
Islamiyah ditunjukkan pada iman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para Rasul-Nya, hari kiamat, dan kepada qadla dan qadar, baik buruknya berasal
dari Allah SWT. Namun demikian bukan berarti selain hal ini tidak ada lagi
perkara yang wajib diimani, tetapi enam perkara tersebut merupakan kerangka
aqidah Islam. Masih banyak terdapat perkara yang lain yang termasuk pada bagian
aqidah, yaitu iman kepada Al-Maut (ajal), rezeki, tawakkal kepada Allah
SWT, iman dengan pertolongan Allah SWT, iman terhadap sifat-sifat Allah SWT,
iman terhadap kema’shuman para nabi dan Rasul, mu’jizat Al-Qur'an, dan
lain-lain. Begitu pula keimanan terhadap adanya surga dan neraka, yaumul hisab (hari perhitungan), iman
terhadap keberadaan jin, setan dan berbagai perkara gaib lainnya berbentuk
kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW. yang
mutawatir.
Dari hal di
atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa pembahasan aqidah menyangkut hal-hal
pokok semata dalam urusan ushuluddin, sedangkan perkara yang termasuk aktivitas
dan perbuatan manusia termasuk bagian dalam syariat Islam dan fiqh Islam.
Al-Qur'an
memberikan sebutan aqidah dengan menggunakan istilah iman. Syaikh Mahmud
Syaltouth menyatakan bahwa pengertian aqidah sama dengan iman. Kalau Aqidah
mempunyai arti mempercayai sejumlah perkara yang diyakini kebenarannya, yaitu
perkara yang bertalian dengan aspek
Ilahiyah (Ketuhanan), Al Nubuwwah
(kenabian), Al Ruhaaniyat
(keruhanian), dan Al sam’iyyat
(berita tentang akhirat), sedangkan iman mempunyai rukun-rukunnya yang enam (Arkanul Iman) yang juga harus yakin
tentang kebenarannya. Dengan demikian inti pengertian keduanya adalah sama. Adapun
perbedaan keduanya hanya terletak pada istilah dan sebutan. Aqidah merupakan
istilah yang digunakan para ulama ushuluddin sedangkan Al-Qur'an menyebutnya
dengan menggunakan kata iman.
Aqidah Islamiyyah
آمَنَ الرَّسُولُ
بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ
وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ
بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
"Rasul telah
beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak
membedakan antara seseorang pun dari Rasul-Rasul-Nya", dan mereka
mengatakan, "Kami dengar dan kami taat". Mereka berdoa:
"Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali."
(QS. Al-Baqarah: 285)
Pembahasan aqidah merupakan pembahasan yang
paling penting dibandingkan dengan berbagai perkara lainnya. Hal ini disebabkan
aqidah merupakan asas, kaidah berfikir, tolok ukur suatu perbuatan, dan standar
(acuan) bagi seorang muslim serta masyarakatnya memecahkan berbagai persoalan
(problematika) yang terjadi dalam kehidupannya di dunia. Dengan demikian,
aqidah menjadi landasan bangunan peradaban manusia, dasar berbagai tonggak
kehidupan ditegakkan, tempat keluarnya berbagai aturan dan peraturan kehidupan,
norma, dan tata nilai masyarakat. Aqidah pula
yang menentukan cara dan arah pandang, cita-cita, dan tujuan yang dianut oleh
para pemeluknya, diyakini kebenarannya, diperjuangkan, dipertahankan, dan
disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Berkaitan dengan hal tersebut,
dari hidup Rasulullah SAW. fakta menunjukkan bahwa Rasulullah SAW bukan hanya
membina para shahabatnya dengan aqidah yang kuat, namun juga membangun
masyarakat Islam di Madinah untuk selalu bersandar pada aqidah Islam walaupun
ayat-ayat tasyri’ (hukum) belum
seluruhnya diturunkan. Rasulullah SAW. menjadikan syahadat Laa Ilaaha Illallah
sebagai asas bagi segalanya, asas kehidupan muslim, asas yang menghubungkan
interaksi sesama muslim, asas yang mendasari hubungan sesama manusia, asas
untuk menyelesaikan berbagai perkara kezaliman, menyelesaikan perselisihan,
asas bagi kekuasaan dan mengatur pemerintahan. Permasalahan ini dapat kita
simak dalam Piagam Madinah antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan Yahudi
dimana antara lain disebutkan:
“...Sesungguhnya
apabila terjadi kejadian atau perselisihan di antara mereka yang terlibat dalam
perjanjian ini, serta dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan maka hal itu
harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya...” (Sirah Ibnu Hisyam)
Rasulullah SAW. ketika mewajibkan jihad fii sabilillah kepada kaum muslimin
sebagai suatu cara untuk mempertahankan aqidah Islam dan menyampaikan da’wah
Islam, beliau Rasulullah SAW. selalu melandasi perintah itu dengan aqidah
tauhid seraya bersabda:
“Aku diperintahkan
untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallahu,
Muhammad Rasulullah. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka darah (nyawa)
dan harta benda mereka terlindung dariku, kecuali karena haknya. Dan Allahlah
yang menghisab mereka” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ashhabus Sunan)
Aqidah Islam
sebagai asas bagi peraturan dan hukum karena Allah SWT. telah memerintahkan
kaum muslimin untuk merujuk dalam perkara ini terhadap hukum yang diturunkan
Allah SWT. dan Rasul-Nya saja. Allah SWT. berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ
يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu,
mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu
(Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang
kauberikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa: 65)
Ayat di atas
menegaskan kepada kita bahwa keimanan (aqidah) seorang muslim dan masyarakatnya
diukur dari apakah ia bersedia merujuk kepada hukum Allah dan Rasul-Nya ataukah
tidak. Hal ini menegaskan bahwa aturan dan peraturan kehidupan manusia harus
merujuk dan hanya lahir berasal dari aqidah Islam semata.
Dalil Masalah Keimanan
Aqidah
Islam ditetapkan oleh Allah SWT dan kita sebagai manusia wajib mempercayainya
sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman atau mukmin. Namun bukan
berarti keimanan itu ditanamkan ke dalam diri seseorang secara dogmatis, sebab
proses keimanan haruslah disertai dalil-dalil. Dalil ini adakalanya bersifat aqli atau naqli,
tergantung perkara apa yang diimani. Jika sesuatu itu masih dalam jangkauan
panca indera maka dalilnya adalah aqli, tetapi jika sesuatu itu di luar jangkauan
panca indera, wajib disandarkan pada dalil naqli. Dengan demikian dalil aqidah
ada dua:
1. Dalil
Aqli: dalil yang digunakan untuk membuktikan perkara-perkara yang bisa
diindera sebagai jalan (perantara) untuk mencapai kebenaran yang pasti dari
keimanan. Yang meliputi di dalamnya adalah beriman kepada keberadaan Allah,
pembuktian kebenaran Al-Qur'an, dan pembuktian Nabi Muhammad itu adalah utusan
Allah.
2. Dalil
Naqli: berita (khabar) pasti (qath’i) yang diberitakan
kepada manusia berkaitan dengan perkara-perkara yang tidak dapat secara
langsung dijangkau oleh akal manusia, yaitu mengenai beriman kepada Malaikat,
Hari Akhir, Nabi-nabi dan Rasul-Rasul, Kitab-kitab terdahulu, sifat-sifat
Allah, dan tentang Taqdir. Khabar yang qath’i ini haruslah bersumber pada
sesuatu yang pasti yaitu Al-Qur'an dan hadits mutawatir (hadits qath’i).
Pengambilan
dalil untuk perkara aqidah berbeda dengan pengambilan dalil bagi perkara
tasyri’ (hukum). Hal ini disebabkan aqidah mensyaratkan dalil yang bersifat
pasti, tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Oleh sebab itu, sumber
pengambilan dalil bagi masalah aqidah ini harus qath’i (pasti) sumbernya (qat’i tsubut) dan pasti penunjukkan dalilnya (qath’i dalalah). Sumber yang tergolong pasti adalah Al Qur-an dan
Hadits Rasulullah SAW. yang mutawatir saja.
Muhammad
Husain Abdullah menyatakan bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang didasarkan
panca indera, diberitakan oleh sejumlah orang yang jumlahnya menurut kebiasaan
tidak mungkin mereka bersepakat (terlebih dahulu) untuk berdusta (dalam
pemberitaannya). Hadits mutawatir seperti ini menunjukkan Al-‘Ilmu (kepastian), yakin, wajib diamalkan, dan barangsiapa
mengingkarinya dikategorikan kafir.
Adapun yang
dimaksud qath’i dalalah karena
kepastian penunjukkan dalil akan memustahilkan ijtihad dalam perkara aqidah.
Syariat Islam tidak menerima ijtihad seseorang dalam perkara aqidah. Ijtihad
hanya terbatas dalam perkara tasyri’ (hukum) saja. Sebab jika aqidah
dijadikan lahan untuk berijtihad maka bagaimana dengan orang-orang yang hasil
ijtihadnya dalam perkara aqidah tersebut keliru atau salah. Sedangkan
kekeliruan atau kesalahan dalam perkara aqidah akan menjerumuskan pada
kekafiran. hal ini karena aqidah Islam merupakan batas antara iman dan kafir.
Dari hal
inilah maka penunjukkan dalil dalam masalah aqidah harus qath’i (pasti) bukan dzanni
(persangkaan) yang masih mengandung kemungkinan penafsiran berbeda dan beraneka
ragam pemahaman. Adapun ayat-ayat Al-Qur'an yang mewajibkan hal ini adalah:
إِنَّ الَّذِينَ لَا
يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَى(27)وَمَا
لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ
الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا(28)
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat,
mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka
tidak mempunyai sesuatu pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan (dzann), sedangkan persangkaan itu tidak berfaidah
sedikitpun terhadap kebenaran” (QS. Al Najm: 27-28)
Ayat di atas
dengan jelas dan gamblang mencela orang-orang yang mengikuti persangkaan dan
dugaan, mencela orang-orang yang mengikuti suatu perkara aqidah tanpa ‘ilmu (kepastian). Celaan dan teguran
ayat-ayat tersebut di atas sekaligus sebagai dalil yang melarang secara tegas
untuk tidak mengikuti persangkaan dan dugaan dalam urusan aqidah. Dalil syara’
menunjukkan kepada kita bahwa beristidlal (menggunakan dalil) dzanni (terdapat adanya dugaan/keraguan)
dalam masalah aqidah dilarang. Di samping itu, tematik yang disinggung oleh
ayat-ayat tersebut di atas seluruhnya menyangkut aqidah, diantaranya ada yang
berhubungan dengan keberadaan Allah SWT, qiamat, malaikat, para Rasul, janji
Allah, penciptaan langit dan bumi, sampai masalah penyaliban Isa Al-Masih.
Hanya saja
perlu diingat bahwa penentuan dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli.
Artinya, penentuan dalil tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk
menentukan mana yang dapat dan mana yang tidak untuk dijadikan dalil naqli.
Sebuah dalil naqli harus bisa dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya secara
aqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan
pada metode aqli (aqliyyah).
Sehubungan
dengan ini, Imam Syafi’i berkata: “Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang
mukallaf adalah berpikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah ta’ala.
Arti berpikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi
orang yang berpikir tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah. Dengan cara
seperti itu, ia bisa sampai ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari
pengamatannya dengan indera, dan ini merupakan suatu keharusan. Hal seperti itu
merupakan suatu kewajiban dalam masalah ushuluddin.” (Fiqh Al-Akbar)
0 Response to "Aqidah Islamiyah dan Pengertian Aqidah"
Post a Comment