Madzhab Sahabat
Semasa RasululIah saw. masih hidup semua masalah yang
muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada
RasululIah saw., dan RasululIah saw. memberikan jawaban dan penyelesaiannya.
Setelah RasululIah saw. meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong
ahli dalam mengistinbathkan hukum telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan
persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan
fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diriwayatkan oleh
tabi'in, tabi'ut tabi'in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan
hadis. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan
hujjah atau tidak?
Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat
sahabat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:
a.
Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya
berasal dari Rasulullah saw., karena pikiran tidak atau belum dapat
menjangkaunya, seperti ucapan Aisyiah ra
لاَ يَمْكُثُ الحَمْلُ فىِ بَطْنِ أُمِّهِ
أَكْثَرَ مِنْ سَنَتَيْنِ قَدْرَ مَا يَتَحَوَّلُ ظِلُّ المَعْزِلِ - رواه
الدارقطني -
"Kandungan itu
tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih
dari sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya." H.r. Ad-Daraquthni
b.
b. Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lainnya, seperti
pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang
dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak sependapat
dengannya.
Sedang pendapat sahabat yang tidak disetujui oleh sahabat
yang lain tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dianut oleh golongan
Hanafiyah, Malikiyah dan hanabilah, dan sebagian Syafi'iyah, namun didahulukan
dari qiyas. Bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukannya dari hadis mursal dan hadis
dha'if. As-Syaukani menganggap pendapat sahabat itu seperti pendapat para
mujtahid yang lain, tidak ada kemestian untuk diikuti.
Ta’arudhul Adillah (dalil-dalil yang nampak bertentangan).
Ta’arudhul
adillah ialah kontradiksi antara dua dalil secara tekstual yang sama derajatnya, dan ada
kemungkinan keduanya dapat diterima bahkan sampai diamalkan setelah melalui
proses penggabungan dan penyaringan dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Para ulama sepakat
bahwa dalil-dalil yang tampak bertentangan itu harus “diselesaikan”, sehingga
hilanglah kontradisksi itu, tetapi mereka berbeda pendapat dalam melakukan
penyelesaian itu. Ibnu Hazm secara tegas menyatakan bahwa matan-matan hadis
yang bertentangan, masing-masing hadis harus diamalkan.
Untuk itu, ia
menekankan perlunya penggunaan metode istitsna (pengecualian atau
exception) dalam penyelesaian itu (Lihat, al-Ihkam fi Ushulil Ahkam Ibnu
Hazm, juz II, h. 151-165)
Syihabud Din al-Qarafi (w. 684 H) menempuh cara at-tarjih
(penelitian untuk mencari yang memiliki argumen yang terkuat).
Dengan cara al-tarjih
itu, mungkin penyelesaian yang dihasilkan berupa penerapan al-nasikh wa
al-mansukh (yakni hadis yang satu menghapuskan petunjuk hadis yang lainnya)
ataupun al-Jam’u (yakni mengkompromikan hadis-hadis yang tampak
bertentangan itu sehingga sama-sama diamalkan dengan melihat aspek atau segi
masing-masing). (Lihat, Syarh Tanqih al-Fushul, hal. 420-425)
Berbeda
dengan kedua ulama di atas, as-Syafi’i memberi gambaran bahwa mungkin saja
matan-matan hadis yang tampak bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan
yang satu bersifat global (mujmal) dan yang satunya bersifat rinci (mufassar);
mungkin yang satu bersifat ‘amm (umum) dan yang lainnya bersifat khass
(khusus); mungkin yang satu sebagai pengahapus (an-nasikh) dan yang
lainnya sebagai yang dihapus (al-mansukh); atau mungkin kedua-duanya
menunjukkan kebolehan untuk diamalkan (Lihat, Kitab Ikhtilaf al-Hadits,
h. 598-599)
Dalam menyelesaikan matan-matan hadis seperti ini Imam al-Syafi’i
menempuh cara al-jam’u, lalu al-nasikh wa al-mansukh, kemudian al-tarjih
(Lihat, Qawa’id fi Ulm al-Hadits, h. 288 dan seterusnya)
Shalahud Din Ahmad
al-Adhabi menempuh cara al-jam’u, kemudian al-tarjih (Lihat, Manhajun
Naqdil Matni, h. 273 )
Ibnu al-Shalah (w. 643H), al-Harawi (w. 837 H), dan lain-lain menempuh cara
(1) al-jam’u;
(2) al-nasikh wa al-mansukh; dan
(3) al-tarjih (Lihat, Muqaddimah
Ibnis Shalah, h. 257-258 dan
Jawahir al-Ushul, h. 40) Muhammad Adib
Shalih menempuh cara
(1) al-jam’u;
(2) al-tarjih kemudian
(3) al-nasikh
wa al-mansukh (Lihat, Lamahat fi Ushulil Hadits, h. 80-81)
Ibnu Hajar dan
lain-lain menempuh empat tahap, yakni,
(1) al-jam’u;
(2) al-nasikh wa
al-mansukh;
(3) al-tarjih; dan
(4) al-tawaqquf (menunggu sampai
ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya)
(Lihat, Nuzhatun Nazahr, h. 24-25).
tampaknya
tahap-tahap penyelesaian yang dikemukakan Ibnu Hajar lebih akomodatif.
Dinyatakan demikian karena dalam praktik penelitian matan, keempat tahap atau
cara itu memang lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan
relevan. Adapun penjelasan berikut contoh penggunaan istilah-istilah di atas
adalah sebagai berikut:
A. al-Jam’u
adalah metode penelitian untuk
mengkompromikan atau menghimpun hadis-hadis yang tampak bertentangan sehingga
semuanya dapat dipergunakan karena sebenarnya tidak bertentangan setelah
didudukkan sesuai dengan maksud masing-masing. Contoh, di dalam riwayat
al-Bukhari diterangkan
…ثُمَّ قَالَ لَهُ كَمِ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعًا …
…Kemudian ia
(Urwah) bertanya kepadanya (Ibnu Umar), “Berapa kali Nabi umrah?” Ia menjawab,
“Empat kali…”
Sedangkan dalam riwayat Ahmad,
Abdullah bin Amr menerangkan
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ ثَلَاثَ
عُمَرٍ
“Sesungguhnya
Nabi saw. umrah tiga kali”.
Keterangan Ibnu Umar dan
Abdullah bin Amr tampaknya seperti bertentangan, namun setelah dikaji secara
cermat ternyata keterangan keduanya tidak bertentangan, karena empat kali umrah
yang dimaksud oleh Ibnu Umar adalah tiga kali di bulan Dzulqa’dah, dan satu
kali di bulan Dzulhijjah pada waji wadha (haji qiran). Sedangkan tiga kali
umrah yang dimaksud oleh Abdullah bin Amr hanya pada bulan Dzulqa’dah
B. an-Nasakh
adalah penelitian untuk mengetahui tarikh
wurudil hadits (waktu datangnya hadis-hadis yang tampak bertentangan
itu). Apabila diketahui, maka yang dipergunakan adalah hadis yang terakhir
datangnya, dan hadis ini disebut sebagai nasikh (yang menghapus). Sedangkan
hadis yang terlebih dahulu datangnya tidak dipergunakan, dan hadis ini disebut
mansukh (yang dihapus).Contoh, dalam riwayat at-Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu
Majah, Rafi’ bin Khadij menerangkan bahwa Nabi bersabda:
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ
وَالْمَحْجُومُ
“Yang membekam dan yang
dibekam batal shaumnya”
Namun dalam riwayat
al-Bukhari Ibnu Abas menerangkan bahwa Nabi saw. pernah berbekam dalam keadaan
shaum. Berdasarkan tarikh, hadis Rafi’ disabdakan pada tahun 8 H. sedangkan amaliah
Nabi pada hadis Ibnu Abbas dilakukan pada tahun 10 H.
C. at-tarjih
adalah penelitian untuk mencari
mana yang memiliki argumen terkuat di antara hadis-hadis yang tampak
bertentangan itu dilihat dari berbagai aspek, antara lain jumlah orang yang
menyampaikan hadis itu lebih banyak. Contoh, hadis tentang doa setelah adzan
dalam riwayat al-Bukhari dan lainnya tanpa kalimat innaka la tukhliful mi’ad. Sedangkan dalam riwayat al-Baihaqi diterangkan adanya
kalimat itu. Dilihat dari jumlah rawi yang menyampaikannya maka yang
dipergunakan adalah riwayat al-Bukhari tanpa kalimat innaka la tukhliful mi’ad.
Apabila ketiga cara
di atas tidak dapat dilakukan, maka diambil cara terakhir, yaitu at-tawaqquf.
Artinya hadis-hadis yang bertentangan itu didiamkan sementara waktu hingga ditemukan maksud yang lebih tepat dari
hadis-hadis itu. Namun sampai hari ini belum ditemukan contoh hadis-hadis yang
ditawaqqufkan.
Berbagai metode yang
dipergunakan oleh ulama di atas pada dasarnya guna mengantisipasi kesalahan
dalam pengamatan dan pemahaman terhadap dalil-dalil yang tampak kontradiktif
itu, karena tidak mungkin hadis Nabi
bertentangan dengan hadis Nabi ataupun dalil-dalil Alquran, sebab apa yang
dikemukakan oleh Nabi, baik berupa hadis maupun ayat Alquran sama-sama berasal dari
Allah (lihat, misalnya Q.s. al-Najm/53:3-4).
0 Response to "Madzhab Sahabat"
Post a Comment