Fungsi al-Sunnah
dan al-Hadits
Dari uraian
di atas, dapat dipahami bahwa al-sunnah (lebih tepatnya al-sunnah
al-nabawiyah) berfungsi sebagai bayan, penjelas, dari ayat-ayat
al-Quran. Dalam banyak kasus, ayat-ayat al-Quran tidak akan dapat dipahami
dan/atau dilaksanakan bila tidak memperhatikan bayan yang pernah
diberikan oleh Nabi saw. Tanpa pengetahuan tentang al-sunnah, niscaya
tidak mungkin mengetahui dan memahami maksud dari ayat-ayat al-Quran
sebagaimana mestinya. Umat Islam mempercayai bahwa dasar utama ajaran Islam
adalah al-Quran, dan untuk memahami serta untuk mengejawantahkan ajaran yang
ada di dalamnya diperlukan al-sunnah. Atas dasar pemahaman demikian,
dapat ditegaskan bahwa al-sunnah adalah dasar kedua ajaran Islam. Dengan
demikian, ajaran Islam tidak hanya yang termuat di dalam al-Quran saja, tetapi
juga terungkap di dalam al-sunnah. Bila ingin mengetahui bagaimana Islam
mengatur suatu urusan, maka perlu dicari ketentuan dan aturannya di dalam
keduanya, al-Quran dan al-sunnah. Sebaliknya, berbagai ketentuan dan aturan
yang tidak ada di dalam al-Quran dan al-sunnah tentu saja tidak dapat dikatakan
sebagai ajaran Islam. Di samping al-Quran, hanyalah al-sunnah yang harus
dijadikan dasar atau landasan dalam ber-Islam.
Dalam sejarah
perkembangan Islam, memang ada orang yang tidak menganggap bahwa al-sunnah
adalah dasar ajaran Islam. Mereka berpendapat bahwa Islam hanya didasarkan atas
ajaran yang termaktub di dalam al-Quran saja. Hanya saja, kelompok yang biasa
dikenal dengan golongan inkar al-sunnah ini hanya terdiri dari
segelintir orang. Mereka termasuk kelompok sempalan di tengah-tengah umat
Islam. Argumentasi penolakan mereka terhadap al-sunnah sangat lemah,
bahkan tidak sejalan dengan penegasan al-Quran sendiri.
Para ulama
merumuskan bahwa penjelasan yang diberikan oleh al-sunnah terhadap
ayat-ayat al-Quran dapat berbentuk sebagai bayan al-tafsir, rincian atau
uraian lebih lanjut dari apa yang dinyatakan di dalam al-Quran, atau bayan
al-taqrir, konfirmasi atau penegasan terhadap pernyataan ayat-ayat
al-Quran, bayan al-tasyri’, keterangan tambahan terhadap ketentuan-ketentuan
yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam al-Quran. Rincian tentang
berbagai bentuk bayan ini dapat dilihat lebih jauh di dalam buku-buku
ushul fikih.
Sementara al-hadits,
sebagaimana dikemukakan di atas, adalah sumber informasi tentang al-sunnah.
Dengan demikian, al-hadits adalah salah satu sumber tempat menemukan
ajaran Islam dalam berbagai aspeknya. Bila seseorang ingin mengetahui sunnah
Nabi tentang suatu masalah, maka ia harus menelusuri kitab-kitab hadis yang
ada. Karena itu, tanpa al-hadits, tentu saja, kita tidak dapat
mengetahui al-sunnah yang sangat diperlukan itu. Al-hadits adalah
sumber kedua (yaitu setelah al-Quran) untuk menemukan berbagai ketentuan ajaran
Islam.
Para ulama
pada masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam telah bersusah payah
untuk mencatat dan mewariskan al-sunnah melalui al-hadits sehingga
lahirlah berbagai macam kitab hadis sebagai buah karya mereka dalam
melestarikan al-sunnah. Dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, mereka
telah berusaha untuk melestarikan berbagai laporan tentang sunnah Nabi Muhammad
saw, bahkan juga sunnah para sahabat dan tabiin. Adalah tugas generasi
berikutnya untuk memilah dan memilih berbagai laporan itu sehingga mereka dapat
memahami ajaran Islam sebagaimana mestinya.
Klasifikasi atau Pengelompokan al-Hadits
Sehubungan
dengan pemahaman seperti dikemukakan di atas, perlu ditegaskan lebih jauh bahwa
al-hadits sebagai sebuah berita tidak boleh diterima begitu saja. Tidak
dengan sendirinya setiap al-hadits mesti diikuti dan dijadikan pegangan
dalam ber-Islam. Sebagaimana lazimnya suatu berita, al-hadits itu
mungkin benar dan dapat dipercaya, tetapi juga mungkin tidak benar dan/atau
kurang dapat dipercaya. Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan pegangan dan
pedoman dalam memahami dan mengamalakan ajaran Islam, al-hadits perlu
diteliti kebenarannya, apakah ia betul-betul berisi penjelasan tentang Nabi
Muhammad, sebagai satu-satunya pribadi yang memiliki kewenangan mutlak untuk
menjelaskan ayat-ayat Allah, atau tidak.Dengan kata lain, benarkah hadits
tersebut menginformasikan tentang al-Sunnah yang layak menjadi pedoman
atau tidak. Persoalan inilah yang menimbulkan salah satu pengetahuan dalam
Islam, yang dikenal dengan Ilmu Hadits, yaitu pengetahuan tentang berbagai hal
yang berkaitan dengan berita mengenai Nabi.
Dari segi
kualitasnya, secara garis besar, al-hadits dapat diklasifikasi menjadi
tiga kelompok, yaitu:
1. Kelompok hadits shahih (hadita
yang benar), yaitu al-hadits yang diyakini betul-betul memberitakan al-sunnah.
Setelah diteliti dari berbagai aspeknya (terutama menyangkut para periwayat,
proses periwayatan, dan isinya) , ia dipercaya sebagai berita tentang al-sunnah.
Inilah al-hadits yang harus dijadikan pegangan dalam ber-Islam. Banyak
di antara informasi tersebut yang meyakinkan bahwa kandungannya betul-betul berkaitan
dengan sunnah Nabi. Dilihat dari berbagai aspeknya, informasi ini didukung oleh
bukti-bukti yang kuat sehingga semuanya memberikan keyakinan bahwa informasi
tersebut benar-benar berasal dari Nabi. Para pembawa berita tersebut tidak
mungkin berbohong atau alpa. Di dalam Ilmu Hadits, kelompok al-hadits
seperti ini termasuk Hadits Mutawatir dan Hadits Shahih.
2. Kelompok hadits palsu (berita
bohong), yaitu al-hadits yang diyakini bahwa ia pasti bukan berita
tentang al-sunnah. Bila penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa al-hadits
tersebut tidak mungkin sebagai berita tentang sunnah Nabi, maka ia perlu
ditolak dan tidak pantas menjadi pegangan dalam memahami dan mengamalkan ajaran
Islam. Bila terdapat di dalam al-hadits itu indikator yang membuat kita
tidak percaya akan kebenaran berita itu (misalnya: periwayatnya dikenal
pembohong atau isinya bertentangan al-Quran), maka al-hadits seperti itu
tidak boleh dipakai dan harus ditolak. Al-hadits yang termasuk kelompok
ini dikenal dalam Ilmu Hadits dengan sebutan Hadits Mawdhu’ (al-hadits
yang dibuat-buat oleh para perawi dengan tujuan tertentu, khususnya untuk
meyakinkan para pendengarnya akan kebenaran sesuatu yang ia sampaikan).. Tidak
sedikit diantara ungkapan-ungkapan al-hadits yang terbukti secara
meyakinkan bahwa isinya bukan ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi. Hadits
tersebut jelas berisi berita yang tidak berhubungan dan/atau berasal dari Nabi.
3. Kelompok hadits dha’if, yaitu al-hadits
yang tidak meyakinkan, apakah ia pasti bercerita tentang al-sunnah atau
tidak. Ada indikator pada al-hadits itu yang membuat para peneliti tidak
bisa sampai pada kesimpulan yang pasti. Dalam kasus ini, berdasarkan penilaian
terhadap berbagai aspeknya, al-hadits tersebut tidak dapat dipastikan
sehingga tidak dapat memberikan keyakinan untuk menolak atau untuk menerimanya
sebagai laporan tentang al-sunnah. Hal itu disebabkan karena bukti-bukti
yang diperlukan tidak cukup untuk melahirkan sebuah kepastian. Mungkin ia
memang bercerita tentang al-sunnah, tetapi juga boleh jadi bukan. Inilah
yang dikenal dengan sebutan Hadits Dha’if (hadits yang lemah),
yaitu al-hadits yang bukti-bukti kebenarannya lemah. Para ulama, ada
yang menolak sepenuhnya al-hadits yang masuk kelompok ini. Bagi mereka,
beragama mesti didasarkan atas sesuatu yang meyakinkan. Sebaliknya, ada pula
yang menerima sepenuhnya karena takut jangan-jangan al-hadits itu
betul-betul berasal dari Nabi. Keraguan mereka hilangkan dengan mengikuti al-hadits
itu. Ada pula di antara mereka yang selektif, yaitu menerima untuk hal-hal
tertentu dan menolak untuk hal lainnya. Pengikut sikap ini lebih melihat misi
atau kandungan al-hadits dari pada penilaian terhadap al-hadits
tersebut sebagai sebuah berita. Dalam kasus ini, bagi mereka, hadits bukan
sebagai penentu, melainkan hanya sekedar untuk konfirmasi hasil pemikiran.
0 Response to "Fungsi AL-Hadits serta Pengelompokannya"
Post a Comment